Menanamkan Kesetaraan Gender Sejak Usia Dini: Investasi Masa Depan Indonesia

Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini: Membangun Kesetaraan Gender

Isu kesetaraan gender seringkali terlupakan dalam pendidikan anak usia dini (PAUD), padahal pondasi karakter dan pemahaman mengenai peran gender terbentuk sejak usia tersebut. Drama miniseries Adolescence di Netflix menjadi pengingat betapa pentingnya menanamkan kesadaran gender dan empati sejak dini, untuk mencegah pembentukan nilai-nilai yang destruktif.

Perayaan Hari Kartini menjadi momentum penting untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender di dunia pendidikan. Pendidikan berkualitas adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi penuh, tanpa batasan jenis kelamin. Konstruksi gender tidak terbentuk secara instan, melainkan diserap anak sejak usia dini melalui interaksi sosial, permainan, dan respons orang dewasa terhadap tindakan mereka. Tindakan-tindakan kecil seperti mengarahkan anak laki-laki bermain bola di luar dan anak perempuan bermain masak-masakan dapat membentuk pola pikir tentang peran gender. Pujian yang berbeda untuk anak laki-laki dan perempuan juga memperkuat norma gender yang membatasi potensi mereka.

Dampak Ketimpangan Gender Sejak Dini

Ketimpangan gender dalam pendidikan dan pengasuhan anak usia dini memiliki dampak jangka panjang. Anak perempuan yang tidak diberi kesempatan untuk bereksplorasi akan cenderung pasif, sementara anak laki-laki yang tidak diajarkan empati akan kesulitan membangun relasi sosial yang sehat. Hal ini berdampak pada partisipasi perempuan yang rendah di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) dan sektor publik, serta potensi munculnya maskulinitas toxic yang memicu kekerasan berbasis gender. Pentingnya PAUD sebagai titik awal strategis untuk membangun kesetaraan gender, mengingat periode emas perkembangan anak (golden age) adalah masa di mana nilai-nilai dasar terbentuk. Namun, belum banyak lembaga PAUD yang menerapkan pendekatan sensitif gender.

Strategi Mewujudkan Kesetaraan Gender di PAUD

Perlu adanya perubahan kurikulum yang merepresentasikan keragaman peran dan membongkar stereotip gender. Guru PAUD memiliki peran penting sebagai agen perubahan sosial, namun seringkali kekurangan pelatihan dan sumber daya untuk memahami isu gender. Pelatihan pengarusutamaan gender, materi pembelajaran yang beragam, dan revisi sumber belajar sangat diperlukan. Tujuan pendidikan berbasis gender bukanlah mengubah identitas gender anak, melainkan memberikan kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai minat dan potensi tanpa dibatasi stereotip gender. Anak laki-laki perlu diajarkan bahwa menangis bukanlah kelemahan, dan anak perempuan perlu diberi ruang untuk memimpin dan mengembangkan logika.

Pendekatan Holistik-Integratif dan Peran Serta Semua Pihak

Pemerintah Indonesia telah mendorong pendekatan Holistik-Integratif (HI) dalam layanan PAUD, namun perspektif gender belum terintegrasi secara eksplisit. Integrasi isu gender perlu dilakukan dalam aspek pendidikan, kesehatan, gizi, pengasuhan, dan perlindungan. Buku cerita yang digunakan harus mencerminkan nilai kesetaraan dan keragaman peran gender. Dalam aspek pengasuhan, perlu ada upaya untuk melibatkan ayah dalam proses pengasuhan. Isu kesetaraan gender membutuhkan sinergi antara keluarga, masyarakat, dan negara. Orang tua harus terlibat aktif, pemerintah daerah menyusun kebijakan yang berpihak pada kesetaraan, dan organisasi masyarakat sipil membangun kesadaran gender di komunitas.

Jika Indonesia ingin mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, kesetaraan gender harus dimulai dari anak-anak. Dari ruang kelas PAUD, buku cerita, guru yang adil, dan orang tua yang memberikan cinta tanpa membeda-bedakan. Kita harus mulai dari sekarang, dari usia dini, dengan membongkar stereotip dan membangun ruang tumbuh yang aman dan inklusif untuk membesarkan generasi yang adil secara sosial, dan memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih setara, manusiawi, dan bermartabat.