Pengawasan Digital Anak: Urgensi Kolaborasi Lintas Sektor di Era Media Sosial
Fenomena anak-anak usia sekolah dasar yang terpaku pada gawai di pedesaan, mengakses TikTok tanpa pengawasan, menjadi perhatian serius. Studi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah mulai menggunakan media sosial sejak usia 7 tahun, lebih awal dari kelompok berpenghasilan menengah ke atas. Hal ini menandakan bahwa media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak, bahkan di daerah yang jauh dari perkotaan.
Media sosial menawarkan peluang eksplorasi yang luas bagi anak-anak, namun tanpa edukasi yang memadai, mereka rentan tersesat dalam labirin informasi yang kompleks. Salah satu ancaman yang mengintai adalah brain rot, sebuah istilah yang mengacu pada penurunan fungsi kognitif akibat paparan berlebihan terhadap konten digital yang dangkal dan kurang bernilai edukasi.
Dampak Negatif Brain Rot
- Penurunan Minat Belajar: Anak-anak yang terpapar brain rot cenderung kehilangan minat pada aktivitas yang memerlukan usaha intelektual, seperti membaca buku atau memahami isu kompleks.
- Kecanduan Hiburan Instan: Mereka lebih memilih hiburan singkat yang memberikan rangsangan dopamin secara instan, seperti video pendek di TikTok atau Instagram Reels.
- Gangguan Konsentrasi: Brain rot dapat menyebabkan gangguan konsentrasi dan penurunan kemampuan berpikir kritis.
- Ketergantungan Emosional: Anak-anak yang terpapar brain rot rentan mengalami ketergantungan emosional pada validasi yang didapatkan dari media sosial.
Konten-konten seperti video lipsync atau pargoy yang beredar luas di TikTok, serta video prank yang tidak berfaedah, menjadi contoh konten digital yang berisiko memicu brain rot. Algoritma media sosial yang dirancang untuk mempertahankan atensi pengguna sering kali memprioritaskan konten ringan dan menghibur, sehingga anak-anak lebih banyak terpapar konten yang kurang bermanfaat.
Menurut Jean Piaget, otak manusia berkembang melalui tahapan-tahapan yang terstruktur. Paparan konten yang dangkal secara terus-menerus dapat mengganggu perkembangan kognitif anak-anak, terutama pada tahap Operasional Konkret (7-11 tahun) dan Operasional Formal (11 tahun ke atas), di mana mereka mulai mengembangkan kemampuan berpikir logis dan abstrak.
Kolaborasi untuk Pengawasan Digital
Menyadari bahaya brain rot dan dampak negatif media sosial pada anak-anak, Perdana Menteri Australia mengumumkan regulasi ketat terhadap platform media sosial, termasuk verifikasi usia pengguna dan batasan usia minimal untuk mengakses media sosial. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tingginya angka gangguan kesehatan mental di kalangan anak dan remaja yang dikaitkan dengan penggunaan media sosial yang berlebihan.
Di Indonesia, pemerintah melalui Kemkominfo dan KPAI sedang melakukan kajian mendalam terkait pembatasan usia anak dalam mengakses media sosial. Namun, implementasi regulasi formal saja tidak cukup. Pengawasan digital anak memerlukan kolaborasi antara pemerintah, keluarga, dan sekolah.
Beberapa negara telah mengimplementasikan program edukasi digital yang melibatkan keluarga dan sekolah secara kolaboratif. Di Singapura, misalnya, Cyber Wellness in Character and Citizenship Education (CCE) telah masuk dalam kurikulum sekolah. Di Swedia, beberapa sekolah memberikan mentoring kepada orang tua tentang cara mengajarkan anak-anak untuk berpikir kritis tentang konten yang mereka temui di media sosial.
Sekolah dapat berperan sebagai ujung tombak dalam mengedukasi anak-anak tentang literasi media, keamanan siber, dan penyaringan informasi. Orang tua dan guru perlu memahami dampak negatif media sosial bagi anak-anak, serta mempelajari cara mengurangi adiksi, menggunakan fitur parental control, dan mendampingi anak-anak dalam menggunakan gawai untuk kebutuhan akademik dan pengembangan diri.
Dengan pendekatan kolaboratif yang terencana dan inklusif, media sosial dapat menjadi ruang belajar yang aman dan produktif bagi anak-anak. Keselamatan anak-anak di dunia digital adalah tanggung jawab bersama, dan dengan edukasi digital yang tepat, kita dapat menyelamatkan satu generasi dari ancaman brain rot dan dampak negatif media sosial.