Bencana Banjir Jabodetabek: Implikasi Konsumerisme dan Urgensi Pertaubatan Ekologis
Bencana Banjir Jabodetabek: Implikasi Konsumerisme dan Urgensi Pertaubatan Ekologis
Hujan deras yang melanda wilayah Jabodetabek beberapa hari terakhir mengakibatkan banjir besar yang menimbulkan kerugian material dan non-material signifikan. Kejadian ini bukan sekadar bencana alam semata, tetapi juga cerminan dari dampak gaya hidup konsumerisme yang telah lama kita jalani. Banjir yang menerjang Bekasi dengan intensitas paling parah, mengharuskan warga mengungsi dan melumpuhkan aktivitas masyarakat. Besarnya kerugian ekonomi akibat bencana ini mengingatkan kita pada banjir Jakarta tahun 2020 yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 10 triliun oleh INDEF. Belum ada perhitungan resmi kerugian akibat banjir kali ini, namun dampaknya jelas sangat besar dan meluas.
Analisis lebih dalam menunjukkan korelasi kuat antara pola konsumerisme dengan kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana. Modernitas dan ketidakpastiannya mendorong konsumsi sebagai bentuk penegasan identitas dan status sosial. Keinginan untuk selalu memiliki barang-barang terbaru, mulai dari pakaian hingga gadget dan kendaraan mewah, telah memicu eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Sosiolog Jerman Ulrich Beck, dalam karyanya Risk Society, telah memperingatkan tentang risiko yang ditimbulkan oleh laju modernitas yang tidak berkelanjutan. Konsumerisme, sebagai bagian dari sistem kapitalisme, menghasilkan produksi risiko yang bersifat buatan manusia, bukan alami. Eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi tuntutan gaya hidup konsumtif menghasilkan residu masif dan kerusakan lingkungan yang tak terelakkan. Alih fungsi lahan, deforestasi untuk perkebunan sawit, pertambangan, dan limbah industri fesyen cepat (fast fashion) merupakan contoh nyata dari rantai tak kasat mata yang menghubungkan konsumerisme dengan bencana alam seperti banjir.
- Beberapa contoh dampak konsumerisme terhadap lingkungan:
- Alih fungsi lahan di Puncak, Bogor untuk objek wisata dan hunian.
- Deforestasi untuk perkebunan sawit.
- Aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan.
- Limbah industri fesyen cepat (fast fashion).
Seringkali, upaya untuk mengatasi masalah lingkungan hanya terfokus pada tindakan individual, seperti kampanye Go Green, mengurangi penggunaan plastik, dan membawa tumbler. Meskipun penting, tindakan individual saja tidak cukup untuk mengatasi krisis lingkungan yang bersifat struktural. Perlu ada perubahan mendasar dalam sistem ekonomi dan konsumsi agar tercipta keberlanjutan. Label-label ramah lingkungan pada produk-produk tertentu sering kali menjadi bentuk lain dari konsumerisme yang terselubung, tanpa solusi nyata untuk permasalahan akarnya. Hal ini menyebabkan kita terjebak dalam siklus konsumerisme yang merusak tanpa menyadari dampak jangka panjangnya.
Paus Fransiskus menyerukan pertaubatan ekologis sebagai solusi. Pertaubatan ini bukan hanya perubahan perilaku individu, tetapi juga perubahan paradigma dalam memandang alam. Alam bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi, melainkan rumah bersama yang harus dijaga dan dilestarikan. Peralihan dari gaya hidup konsumtif ke pola hidup sederhana, peduli, dan berkelanjutan menjadi keharusan untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah. Banjir yang terjadi di Jabodetabek menjadi pengingat penting bagi kita semua untuk segera bertindak dan melakukan perubahan nyata, sebelum terlambat.