Refleksi Hari Kartini: Lebih dari Sekadar Berkebaya

Setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini, sebuah momen yang seringkali diidentikkan dengan tradisi berkebaya. Perayaan ini seolah menjadi simbol nasionalisme dan kebanggaan terhadap budaya Indonesia, sekaligus mengenang sosok Raden Ajeng Kartini. Namun, muncul pertanyaan, apakah esensi perjuangan emansipasi perempuan yang Kartini gaungkan semasa hidupnya tidak tereduksi menjadi sekadar perayaan seremonial?

Sejak era Presiden Soekarno, tradisi berkebaya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Kartini. Penetapan 21 April sebagai Hari Kartini melalui Keppres No. 108 Tahun 1964 semakin mengukuhkan tradisi tersebut. Namun, kritikus budaya Lynda Ibrahim menyoroti bahwa selama puluhan tahun, Kartini seolah hanya dilihat dari busana yang dikenakannya. Ia mengungkit konsep 'Ibuisme' yang mengkritik bagaimana pemerintah orde lama dan orde baru memberdayakan perempuan atas nama pembangunan, namun pada kenyataannya menempatkan mereka dalam peran domestik yang pasif.

Sejarah mencatat, dalam sebuah arsip foto tahun 1953, Soekarno terlihat menggelar acara peringatan Kartini di istana kepresidenan. Dalam foto tersebut, Soekarno mengenakan setelan modern serba putih, sementara para perempuan di sekelilingnya mengenakan kebaya lengkap dengan selendang. Hal ini seolah menegaskan citra Kartini sebagai sosok perempuan anggun yang identik dengan kebaya.

Peneliti Vissia Ita Yulianto dalam opininya di The Jakarta Post juga menyampaikan ironi serupa. Ia berpendapat bahwa pemaknaan Hari Kartini mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Soeharto, di mana Kartini didistorsi maknanya menjadi sekadar 'putri sejati', alih-alih seorang pembongkar sistem patriarki. Transformasi ini, menurutnya, melegitimasi penarikan perempuan dari ranah publik kembali ke urusan domestik.

Maka dari itu, perayaan Hari Kartini seharusnya dimaknai lebih dalam dari sekadar berkebaya. Semangat radikalisme Kartini dalam melawan budaya patriarki, memperjuangkan kesetaraan hak perempuan, terutama dalam akses pendidikan, harus menjadi pesan utama yang diangkat. Lynda Ibrahim menekankan pentingnya memahami surat-surat Kartini yang berisi pemberontakan terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan pada masanya.

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa perayaan Hari Kartini juga memberikan dampak positif dalam dunia fashion. Semakin banyak perempuan Indonesia yang tertarik pada kebaya sebagai busana nasional, bahkan menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini memotivasi para desainer untuk berkreasi dengan kebaya, menjadikannya tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Terlepas dari kontroversi dan interpretasi yang beragam, perayaan Hari Kartini tetap menjadi momen penting untuk merefleksikan perjuangan perempuan Indonesia dalam mencapai kesetaraan dan kemajuan. Namun, penting untuk diingat bahwa esensi perjuangan Kartini tidak hanya terletak pada busana yang dikenakan, tetapi juga pada semangatnya dalam melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak perempuan.