Gelombang PHK di Sektor Manufaktur Indonesia: Ribuan Pekerja Kehilangan Pekerjaan
Gelombang PHK di Sektor Manufaktur Indonesia: Ribuan Pekerja Kehilangan Pekerjaan
Industri manufaktur Indonesia kembali menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan. Terbaru, lebih dari 3.500 pekerja di dua perusahaan alas kaki di Tangerang, Banten, di-PHK menjelang bulan Ramadan. PT Adis Dimension Footwear telah memberhentikan 1.500 karyawannya, sementara PT Victory Ching Luh tengah dalam proses PHK terhadap 2.000 karyawan. Jumlah ini menambah panjang daftar PHK di Banten yang telah mencapai 12.000 orang sepanjang tahun 2024, belum termasuk kasus-kasus PHK yang tidak dilaporkan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan meluasnya dampak PHK di sektor ini dan menimbulkan tekanan sosial ekonomi yang signifikan.
Penurunan pesanan dari pemegang merek menjadi faktor utama yang menyebabkan PHK besar-besaran tersebut. Salah satu perusahaan yang terkena dampak, diketahui memasok sepatu untuk merek terkenal seperti Nike. Kurangnya pesanan memaksa perusahaan untuk mengurangi volume produksi dan akhirnya melakukan PHK sebagai langkah efisiensi. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Tangerang. Laporan serupa juga datang dari berbagai wilayah, termasuk Jawa Tengah, di mana PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) memberhentikan 6.660 karyawannya menyusul keputusan pailit dari Pengadilan Niaga Semarang. Karyawan Sritex saat ini tengah sibuk mengurus surat PHK dan dokumen yang diperlukan untuk mencairkan jaminan hari tua (JHT) serta jaminan kehilangan pekerjaan. Situasi serupa juga terjadi di perusahaan lain, seperti Yamaha Music Indonesia dan sejumlah restoran cepat saji, serta penutupan pabrik milik investor asing. Situasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi sektor manufaktur di Indonesia, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret untuk mencegah meluasnya PHK. Ia menekankan perlunya penciptaan lapangan kerja baru dan pembentukan Satuan Tugas khusus yang terdiri dari lintas kementerian untuk menangani masalah ini secara komprehensif. Menurutnya, masalah PHK bukan hanya tanggung jawab Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) semata. Andi Gani juga mengingatkan para pengusaha untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait prosedur PHK, termasuk melakukan perundingan bipartit dan musyawarah sebelum mengambil keputusan PHK. Jika tidak ada kesepakatan, perselisihan harus diselesaikan melalui jalur pengadilan hubungan industrial.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Indah Anggoro Putri, menyatakan bahwa Kemenaker telah memberikan peringatan kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK agar mengikuti aturan yang berlaku. PHK harus dilakukan sesuai regulasi dan kemampuan perusahaan, dan jika kemampuan perusahaan berada di bawah regulasi, maka PHK harus dilakukan atas kesepakatan bersama perusahaan dan karyawan. Kemenaker menekankan pentingnya perlindungan hak dan kewajiban pekerja yang terkena PHK. Situasi ini menyoroti urgensi upaya pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, melindungi hak-hak pekerja, dan merumuskan strategi jaring pengaman sosial yang efektif bagi pekerja yang terdampak PHK.
Kesimpulannya, gelombang PHK di sektor manufaktur Indonesia menunjukkan perlunya perhatian serius dari pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk mencari solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Perlu ada upaya bersama untuk menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan daya saing industri, serta melindungi hak-hak pekerja yang terkena dampak PHK. Peraturan yang ada perlu ditegakkan dan dipatuhi oleh semua pihak untuk mengurangi dampak negatif PHK terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.