Penataan Ulang Kawasan Tanjung Priok Mendesak Akibat Hilangnya Buffer Zone dan Kemacetan Parah
Jakarta - Kemacetan kronis yang menghantui kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, kembali menjadi sorotan. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengidentifikasi bahwa salah satu akar masalahnya adalah lenyapnya area penyangga (buffer zone) yang seharusnya memisahkan aktivitas pelabuhan dengan kawasan permukiman.
Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI, menegaskan bahwa idealnya, buffer zone berfungsi sebagai zona transisi yang meminimalkan dampak operasional pelabuhan terhadap lingkungan sekitarnya. Namun, kenyataannya, lahan-lahan di sekitar pelabuhan telah beralih fungsi menjadi bangunan komersial dan perumahan padat.
"Seharusnya ada jarak minimal satu kilometer antara pelabuhan dengan pertokoan dan pemukiman. Area penyangga ini harus steril dari bangunan," ujar Djoko.
Menurut Djoko, penataan kawasan Pelabuhan Tanjung Priok perlu dikembalikan ke konsep awal yang diterapkan pada masa Hindia Belanda. Kala itu, batas kawasan pelabuhan dirancang membentang hingga Cempaka Mas di sisi timur, lengkap dengan jalur rel dan area penyangga yang luas.
"Kita perlu mengembalikan tata ruang kawasan pelabuhan sesuai dengan rencana awal zaman Hindia Belanda, dengan batas pelabuhan mencapai Cempaka Mas dan sisi timur," jelasnya.
Keberadaan buffer zone, lanjut Djoko, sangat krusial untuk meredam dampak negatif operasional pelabuhan, seperti:
- Kebisingan
- Polusi udara
- Kepadatan lalu lintas
Tanpa area penyangga yang memadai, beban logistik langsung dirasakan oleh warga yang tinggal di sekitar pelabuhan. Hilangnya buffer zone juga mengindikasikan lemahnya pengawasan terhadap perubahan fungsi lahan di kawasan tersebut.
"Saat ini, area penyangga telah berubah menjadi pemukiman dan perumahan," ungkap Djoko.
Untuk mengatasi masalah ini, Djoko mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh dan penataan ulang kawasan pelabuhan. Tanpa tindakan nyata, masalah kemacetan dan konflik ruang akan terus berlanjut, mengganggu kelancaran distribusi barang dan aktivitas ekonomi.
"Pemerintah harus mengevaluasi kebijakan ini agar kesalahan serupa tidak terulang di masa depan," pungkasnya.