Eskalasi Konflik: AS Bombardir Yaman, Hamas Tegaskan Penolakan Gencatan Senjata Terbatas di Gaza

Eskalasi konflik di Timur Tengah terus berlanjut dengan serangan terbaru dari Amerika Serikat di Yaman dan penolakan Hamas terhadap gencatan senjata parsial di Gaza. Komando Pusat Amerika Serikat (CENTCOM) mengumumkan serangan yang menyasar Pelabuhan Ras Isa di Yaman. Operasi ini diklaim sebagai upaya untuk melumpuhkan sumber-sumber ekonomi yang mendukung kelompok militan Houthi, yang selama ini disokong oleh Iran. Tujuan utama serangan ini adalah untuk memutus rantai pasokan dan pendanaan yang vital bagi kelompok pemberontak tersebut.

"Pasukan AS telah mengambil tindakan untuk menghancurkan sumber bahan bakar bagi teroris Houthi yang didukung Iran," demikian pernyataan CENTCOM melalui media sosial. CENTCOM juga menegaskan bahwa serangan ini tidak ditujukan kepada rakyat Yaman, melainkan untuk membantu mereka yang ingin menggulingkan kelompok Houthi dan hidup dalam kedamaian. Pelabuhan Ras Isa dianggap sebagai pusat distribusi bahan bakar utama bagi Houthi, sekaligus menjadi sumber pendapatan ilegal melalui penjualan bahan bakar.

Serangan udara tersebut dilaporkan telah mengakibatkan puluhan korban jiwa dan luka-luka. Media yang berafiliasi dengan Houthi melaporkan sedikitnya 38 orang tewas, termasuk lima petugas medis. Kementerian Kesehatan yang dikendalikan Houthi juga mengklaim bahwa sekitar 50 pekerja dan karyawan terluka di pelabuhan minyak Ras Isa akibat serangan tersebut. Insiden ini menjadi salah satu serangan militer AS dengan korban terbanyak sejak dimulainya operasi udara terhadap kelompok militan pro-Iran bulan lalu. Amerika Serikat menyatakan akan terus melanjutkan operasi serangan udara hingga Houthi menghentikan serangan terhadap kapal-kapal kargo di Laut Merah, sebagai balasan atas perang Israel terhadap Hamas di Gaza.

Iran dituding sebagai pihak yang memberikan dukungan kepada kelompok pemberontak Houthi di Yaman dalam konflik melawan pemerintah Yaman yang didukung oleh Arab Saudi. Selain itu, Iran juga diduga memberikan bantuan kepada Hamas dalam konflik melawan Israel. Hamas dan Houthi memiliki kesamaan musuh, yaitu Israel dan negara-negara pendukung pemerintah Yaman yang diakui secara internasional, termasuk Arab Saudi dan sekutunya.

Sementara itu, Hamas menolak proposal gencatan senjata 'parsial' yang diajukan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Khalil Al-Hayya, Kepala Biro Politik Hamas di Gaza dan ketua tim negosiasi, menegaskan bahwa kelompoknya tidak akan menyetujui gencatan senjata yang bersifat terbatas. Menurutnya, Netanyahu dan pemerintahannya menggunakan kesepakatan parsial sebagai kedok untuk melanjutkan perang pemusnahan dan kelaparan, bahkan jika itu berarti mengorbankan semua sandera.

"Kami tidak akan menjadi bagian dari kebijakan ini," tegas Hayya dalam pidato yang disiarkan televisi. Ia menambahkan bahwa Hamas siap untuk segera terlibat dalam negosiasi paket komprehensif untuk membebaskan semua sandera yang masih ditahan, dengan syarat diakhirinya perang di Gaza, pembebasan warga Palestina yang dipenjara oleh Israel, dan rekonstruksi Gaza.

Berikut adalah poin-poin penting yang disampaikan oleh Khalil Al-Hayya:

  • Menolak gencatan senjata parsial.
  • Menuduh Netanyahu menggunakan kesepakatan parsial sebagai kedok.
  • Siap bernegosiasi untuk pembebasan sandera dengan syarat:
    • Mengakhiri perang di Gaza.
    • Membebaskan warga Palestina yang dipenjara Israel.
    • Rekonstruksi Gaza.