Dramatisasi Jalan Salib di Ambon: Simbol Persatuan dan Harapan di Tengah Perbedaan

Kota Ambon menjadi saksi bisu sebuah perayaan yang menyentuh hati, ketika ribuan warga dari berbagai latar belakang agama berkumpul di sepanjang Jalan Pattimura pada hari Sabtu, 19 April 2025. Mereka hadir untuk menyaksikan dramatisasi Jalan Salib Oikumene 2025, sebuah tradisi sakral yang kembali digelar setelah tujuh tahun absen.

Acara yang dimulai pukul 09.00 WIT di halaman Gereja Katedral Santo Fransiskus Xaverius Ambon dan berakhir sekitar pukul 15.00 WIT di Gereja Santa Maria Bintang Laut, Benteng, ini menghadirkan perjalanan spiritual yang mendalam. Para aktor, dengan penuh penghayatan, memerankan kisah sengsara Yesus Kristus, mulai dari penangkapan hingga penyaliban. Prosesi sejauh hampir 4 kilometer ini melewati 15 titik perhentian di depan gereja-gereja, di mana doa-doa dipanjatkan.

Hujan deras yang mengguyur kota tidak menyurutkan semangat para peserta dan penonton. Sebaliknya, air hujan seolah menjadi bagian dari perjalanan ziarah, menambah kekhusyukan dan meresapi makna pengorbanan Yesus. Di antara kerumunan, terlihat bukan hanya umat Katolik, tetapi juga warga dari berbagai agama yang ingin menyaksikan peristiwa religius ini.

Salah satu momen yang paling mengesankan adalah adegan penyiksaan Yesus oleh tentara Romawi. Cambuk yang terbuat dari anyaman tali rafia, tali kapal, dan bambu, menghasilkan suara yang begitu nyata, membuat banyak penonton merinding dan terharu. Sosok Yesus, dengan salib besar di pundaknya, tetap tegar dan berdoa, menyerahkan seluruh penderitaannya kepada Tuhan.

Uskup Diosis Amboina, Pastor Seni Ngutra, mengungkapkan rasa bangga dan kagumnya atas penyelenggaraan dramatisasi ini. Ia menekankan bahwa keberhasilan acara ini adalah hasil kerja sama dan doa dari semua pihak. Pastor Seni juga menyoroti keterlibatan aktif dari Orang Muda Katolik (OMK) dan Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM), sebagai simbol persatuan dan kemanusiaan.

"Kami sangat bangga dengan AMGPM dan OMK di kota ini. Menjadi orang Kristen yang sesungguhnya dalam ajaran seperti ini, bersatu dalam kemanusiaan," ujarnya.

Kehadiran lintas iman dalam perayaan Jumat Agung ini, menurutnya, adalah pesan yang sangat kuat tentang pentingnya persatuan dan toleransi. Perbedaan keyakinan harus dikesampingkan demi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Persiapan acara ini memakan waktu tiga bulan, dengan tujuan utama untuk mengenang pengorbanan Yesus dan memohon kedamaian bagi Kota Ambon dan Provinsi Maluku. Pastor Seno Ngutra berharap agar momen ini menjadi doa bagi para pemimpin agar senantiasa amanah dan setia dalam menjalankan tugas mereka.

  • Dramatisasi ini bukan hanya sekadar pertunjukan, tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan harapan di tengah perbedaan.