Dari Pakaian Impor ke Perlengkapan Bayi: Kisah Transformasi Bisnis Seorang Pengusaha di Depok
Di tengah hiruk pikuk bisnis yang terus berubah, kisah Mansyur, seorang pengusaha berusia 46 tahun, menjadi cerminan adaptasi dan ketahanan. Dulu, ia berjaya dengan lima kios fesyen di Cengkareng, Jakarta Barat, meraup omzet hingga Rp 30 juta saat Lebaran. Namun, roda bisnis berputar. Kini, Mansyur banting setir menjual perlengkapan bayi di Sawangan, Depok, meskipun sisa-sisa kejayaan fesyen masih menghiasi kiosnya.
Kisah sukses Mansyur dimulai jauh sebelum pandemi. Pada tahun 2002, ia membuka toko fesyen di WTC Mangga Dua, kemudian melebarkan sayap ke Bekasi, sebelum akhirnya menetap di Cengkareng. Ia menyasar segmen menengah atas dengan menawarkan fesyen impor berkualitas dari Pasar Tanah Abang. Bisnisnya terus berkembang hingga ia memiliki beberapa cabang.
Namun, pandemi COVID-19 menghantam bisnisnya dengan keras. Pembatasan pergerakan masyarakat melalui PPKM membuat omzetnya merosot tajam. Barang dari Pasar Tanah Abang tetap datang, namun pembeli menghilang. Selama empat bulan, ia tak mampu menghasilkan apa pun. Ia harus menanggung biaya operasional yang besar, termasuk sewa ruko Rp 60 juta dan gaji karyawan. Meski sempat bertahan, Mansyur akhirnya menyerah dan menutup bisnis fesyen yang telah membesarkan namanya. Tabungan sebesar Rp 150 juta menjadi modal awalnya untuk memulai bisnis baru: perlengkapan bayi.
Ide ini muncul dari saudaranya yang juga menjalankan bisnis serupa. Mansyur melihat peluang di Sawangan, Depok, yang memiliki banyak perumahan baru dengan potensi pasar perlengkapan bayi yang besar. Ternyata, susu dan pampers menjadi produk yang sangat diminati.
Sisa stok pakaian dari bisnis fesyen lamanya dibawa ke Sawangan. Mansyur bahkan sempat membuka kios fesyen di samping toko perlengkapan bayinya, berharap keberuntungan masih berpihak padanya. Namun, penjualan pakaian impor di kawasan ini tidak memuaskan. Ia pun memutuskan untuk menutup toko pakaian dan menggabungkannya dengan toko perlengkapan bayi.
Tak berhenti di situ, Mansyur memutar otak mencari peluang lain. Uang sisa usaha dialihkan ke sektor pertanian singkong di kampung halamannya di Lampung, daerah yang dikenal sebagai penghasil singkong. Ia memiliki dua hektar lahan dan menyewa tiga hektar lainnya untuk meningkatkan hasil panen.
Meskipun kini memiliki dua sumber penghasilan, Mansyur mengaku masih merindukan dunia fesyen. Ia mengaku lebih menikmati bisnis fesyen, meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang itu. Selama menjalankan bisnis fesyen, Mansyur memanfaatkan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari BRI untuk mendatangkan koleksi pakaian terbaru. Ia telah tiga kali memanfaatkan KUR, mulai dari Rp 20 juta, Rp 30 juta, hingga Rp 100 juta. Saat pandemi, ia mendapat keringanan pembayaran KUR melalui program restrukturisasi.
Pemerintah memang memberikan berbagai relaksasi KUR untuk membantu UMKM yang terdampak pandemi, termasuk pembebasan bunga dan penundaan pembayaran pokok, perpanjangan jangka waktu, dan penambahan plafon. Kebijakan ini sangat membantu Mansyur untuk melewati masa sulit.
Kini, Mansyur terus menjalankan bisnis perlengkapan bayinya sambil memantau perkembangan kebun singkongnya di Lampung. Ia juga mengikuti perkembangan zaman dengan menyediakan fasilitas pembayaran QRIS untuk memudahkan pelanggan. Salah seorang pelanggannya mengaku sangat terbantu dengan adanya QRIS karena lebih praktis.
Perjalanan bisnis Mansyur adalah kisah tentang keberanian, adaptasi, dan ketahanan. Dari gemerlap dunia fesyen impor, ia banting setir ke bisnis perlengkapan bayi dan pertanian singkong. Dengan semangat pantang menyerah, Mansyur terus mencari peluang dan beradaptasi dengan perubahan zaman.