Komnas Disabilitas Dorong Penghapusan Label 'Sekolah Inklusi': Inklusif adalah Filosofi, Bukan Sekadar Label

Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia (Komnas Disabilitas RI) mengadvokasi penghapusan konsep sekolah inklusif yang dianggap kurang tepat kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Usulan ini didasari oleh pemahaman bahwa pemberian label "sekolah inklusif" justru kontraproduktif terhadap esensi inklusi itu sendiri.

Wakil Ketua Komnas Disabilitas RI, Deka Kurniawan, menjelaskan bahwa pihaknya telah aktif melakukan advokasi kepada Kemendikbudristek dalam rangka perumusan regulasi yang mendukung iklim pendidikan inklusif. Salah satu poin penting yang berhasil didorong adalah perubahan paradigma tentang inklusi. Labelisasi sekolah, menurutnya, menciptakan pemisahan yang tidak perlu.

"Pandangan yang sudah lama terbentuk adalah inklusi ini sekadar label. Ada sekolah inklusi, ada sekolah reguler. Padahal, jika sebuah sekolah diberi label inklusi, justru jadi tidak inklusif. Inklusi seharusnya menjadi filosofi dan nilai yang dianut, bukan sekadar nama sekolah," ujar Deka dalam sebuah acara di Depok.

Menurut Deka, sekolah tidak perlu secara eksplisit memberikan label inklusif untuk menjalankan praktik-praktik inklusif. Komnas Disabilitas RI mendorong seluruh sekolah, baik di bawah naungan Kemendikbudristek maupun Kementerian Agama, untuk memfasilitasi pendidikan bagi semua anak, termasuk anak-anak dengan spektrum autisme.

"Anak autis boleh bersekolah, tentu saja. Secara ilmiah, kita perlu mengukur kapan seorang anak siap untuk bersekolah. Bukan berarti tidak boleh, tetapi lebih kepada efektivitasnya. Prinsip dasarnya adalah semua penyandang disabilitas berhak bersekolah di sekolah terdekat. Tidak harus di sekolah khusus, SLB, atau sekolah berlabel inklusi. Semua sekolah tidak boleh menolak," tegas Deka.

Lebih lanjut, Deka menjelaskan bahwa paradigma yang saat ini diusung adalah berbasis hak (right base), bukan berbasis amal (charity base). Jika pendekatan yang digunakan adalah charity base, maka anak-anak penyandang disabilitas, termasuk autisme, berpotensi diperlakukan berbeda. Hal ini bahkan dapat berimplikasi pada anggapan bahwa mereka tidak perlu bersekolah.

"Akibatnya, mereka tidak dapat memenuhi hak yang seharusnya mereka dapatkan, yaitu hak pendidikan yang setara dengan anak-anak lainnya," kata Deka.

Pendekatan berbasis hak, sebaliknya, menekankan bahwa semua anak disabilitas berhak untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Kewajiban untuk menyediakan pendidikan inklusif melekat pada negara, terlepas dari ketersediaan anggaran atau sumber daya manusia.

"Ada anggaran atau tidak ada anggaran, ada SDM atau tidak ada SDM, kewajiban itu tetap ada sehingga harus terus diupayakan," pungkas Deka.

Poin-poin penting yang ditekankan:

  • Penghapusan label "sekolah inklusi" untuk menghindari pemisahan.
  • Inklusi sebagai filosofi dan nilai yang dianut seluruh sekolah.
  • Hak setiap anak disabilitas untuk bersekolah di sekolah terdekat.
  • Pendekatan pendidikan berbasis hak, bukan berbasis amal.
  • Kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan inklusif tanpa memandang keterbatasan sumber daya.

Dengan perubahan paradigma ini, diharapkan semua sekolah dapat menjadi lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi semua anak, tanpa terkecuali.