Strategi Manufaktur Apple: Mengapa Tim Cook Memilih China di Tengah Ketegangan AS-China?
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China terus menjadi sorotan hingga tahun 2025, memunculkan pertanyaan mengenai keberlanjutan rantai pasok global. Di tengah tensi yang meningkat, Apple, perusahaan teknologi raksasa asal Amerika Serikat, tetap mempertahankan basis produksi iPhone-nya di China. Keputusan ini, yang terlihat kontradiktif dengan semangat nasionalisme ekonomi yang digaungkan oleh beberapa pihak di AS, ternyata memiliki alasan yang mendalam dan strategis.
Alasan di balik pilihan Apple ini sebenarnya telah diungkapkan oleh CEO Apple, Tim Cook, dalam sebuah wawancara yang kembali viral pada tahun 2024. Dalam wawancara tersebut, Cook membantah anggapan bahwa China dipilih semata-mata karena biaya tenaga kerja yang murah. Ia menegaskan bahwa China telah lama bukan lagi negara dengan upah buruh rendah. Faktor utama yang membuat Apple betah di China adalah ketersediaan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar serta ekosistem manufaktur yang sangat mumpuni.
Berikut adalah beberapa poin kunci yang mendasari keputusan Apple untuk tetap berproduksi di China:
- Keterampilan Tenaga Kerja: Cook menekankan bahwa China memiliki konsentrasi insinyur dan teknisi manufaktur yang sangat tinggi. Ia menggambarkan bahwa jumlah tenaga ahli yang tersedia di China mampu memenuhi kebutuhan produksi Apple yang sangat kompleks. Bahkan, Cook membandingkan ketersediaan tenaga ahli di China dengan di AS, di mana ia menyatakan bahwa di AS, pertemuan dengan teknisi tidak akan memadati ruangan, sedangkan di China, jumlahnya bisa mengisi beberapa lapangan sepak bola.
- Ekosistem Manufaktur yang Matang: China telah mengembangkan ekosistem manufaktur yang sangat terintegrasi dan efisien selama beberapa dekade. Hal ini mencakup ketersediaan pemasok komponen, infrastruktur logistik yang canggih, serta kemampuan untuk merespons perubahan permintaan pasar dengan cepat.
- Kecepatan dan Skala: Apple dikenal dengan siklus produk yang cepat dan volume produksi yang sangat besar. China mampu memenuhi tuntutan ini dengan menyediakan kapasitas produksi yang fleksibel dan responsif.
Namun, keputusan Apple untuk tetap berproduksi di China tidak lepas dari tantangan. Perang tarif impor antara AS dan China yang terus berlanjut dapat meningkatkan biaya produksi dan mengancam profitabilitas Apple. Pada awal April 2025, mantan Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif impor baru terhadap barang-barang dari China, termasuk potensi tarif yang sangat tinggi untuk produk elektronik.
Meski demikian, Trump kemudian memberikan pengecualian tarif untuk produk-produk elektronik seperti smartphone, laptop, dan hard drive. Keputusan ini memberikan sedikit kelegaan bagi Apple dan perusahaan teknologi lainnya yang memiliki rantai pasok di China. Namun, produk-produk elektronik tersebut masih akan dikenakan tarif 20 persen yang telah berlaku sejak awal tahun 2025.
Kebijakan ini memberikan dampak positif bagi perusahaan seperti Apple, Samsung, dan Nvidia, karena membantu mereka menjaga harga produk elektronik tetap kompetitif, terutama yang tidak diproduksi di AS. Namun, masa depan rantai pasok Apple dan perusahaan teknologi lainnya masih belum pasti. Ketegangan geopolitik antara AS dan China, serta perubahan kebijakan perdagangan, dapat memaksa perusahaan-perusahaan ini untuk mempertimbangkan kembali strategi manufaktur mereka di masa depan.