Dugaan Korupsi Pertamina: Pengalaman Konsumen SPBU Swasta Ungkap Preferensi dan Perbedaan Layanan
Dugaan Korupsi Pertamina: Pengalaman Konsumen SPBU Swasta Ungkap Preferensi dan Perbedaan Layanan
Terungkapnya dugaan praktik pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) di PT Pertamina (Persero) telah mengguncang publik. Skandal korupsi yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kualitas dan pengawasan BBM di Indonesia. Namun, di tengah sorotan tajam terhadap Pertamina, bermunculan pula suara dari konsumen yang telah beralih ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta, khususnya Shell, dan mengaku puas dengan layanan yang diberikan. Mereka menegaskan pilihannya tersebut bukan semata karena skandal korupsi Pertamina, melainkan karena pengalaman pemakaian dan perbedaan layanan yang signifikan.
Salah satu konsumen, Bayu (25), seorang pengguna setia Shell, mengungkapkan kepuasannya dengan pelayanan yang lebih baik dibandingkan Pertamina. Meskipun harga BBM di Shell lebih tinggi, Bayu merasa hal tersebut sebanding dengan kualitas layanan yang didapat. Ia hanya mengisi BBM di SPBU Pertamina dalam keadaan darurat, ketika kehabisan BBM di jalan. Perbedaan performa mesin, menurut Bayu, sangat terasa signifikan, sehingga ia lebih memilih untuk tetap setia kepada Shell. "Sudah sering isi di sini, sebelum kasus ini juga sudah sering. Walaupun lebih mahal, tapi pelayanannya bagus," ujarnya. Pengalaman serupa diungkapkan oleh Ucup (39), seorang pengemudi ojek online. Ia mengaku lebih irit menggunakan BBM Shell dan tarikan kendaraan menjadi lebih ringan. Hal ini sangat menguntungkan bagi pekerjaannya sebagai pengemudi online yang membutuhkan efisiensi bahan bakar. Ucup bahkan rutin melakukan perawatan kendaraan, termasuk penggantian oli, di SPBU Shell. Ia menegaskan bahwa perbedaan konsumsi BBM antara Shell dan Pertamina cukup signifikan, meskipun harga BBM Shell mengalami fluktuasi mengikuti harga pasar minyak dunia. "Dari harga Rp 10.000 sampai sekarang Rp 12.000 tetap pakai Shell, enggak masalah. Pernah saya bandingkan, pakai Shell dan Pertamax itu beda," tuturnya.
Sementara itu, Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah petinggi Pertamina sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun pada tahun 2023. Kasus ini terkait dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax, di mana tersangka diduga melakukan pembelian BBM jenis Ron 92 (Pertamax), padahal yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite) atau jenis BBM dengan oktan lebih rendah. Praktik tersebut dilakukan melalui blending di depo penyimpanan. Kasus ini melibatkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin, dan beberapa pejabat lainnya. Kasus ini menunjukkan celah pengawasan yang signifikan dalam tata kelola Pertamina dan menimbulkan kekhawatiran publik terhadap kualitas BBM yang beredar di pasaran.
Pengalaman konsumen SPBU swasta seperti Bayu dan Ucup, meskipun bersifat anekdotal, menunjukkan adanya perbedaan persepsi dan preferensi konsumen terhadap layanan dan kualitas BBM yang ditawarkan oleh Pertamina dan SPBU swasta. Hal ini menjadi catatan penting bagi Pertamina untuk melakukan perbaikan dan peningkatan layanan agar dapat kembali mendapatkan kepercayaan konsumen. Selain itu, kasus korupsi ini menjadi pengingat penting akan perlunya pengawasan yang lebih ketat dan transparan dalam tata kelola perusahaan BUMN agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap Pertamina dan menjaga stabilitas sektor energi nasional.