Harga iPhone Bisa Meroket Jika Diproduksi di Amerika Serikat, Ini Analisisnya
Harga iPhone Berpotensi Melonjak Drastis Jika Produksi Dipindahkan ke Amerika Serikat
Gagasan untuk memindahkan produksi iPhone sepenuhnya ke Amerika Serikat, yang sempat mencuat seiring kebijakan tarif impor yang digulirkan pemerintahan Donald Trump, ternyata menyimpan konsekuensi yang signifikan terhadap harga jual perangkat tersebut. Alih-alih disambut baik, wacana ini justru memunculkan kekhawatiran akan lonjakan harga yang tak terhindarkan.
Selama ini, Apple sangat bergantung pada China sebagai basis produksi utama. Sekitar 80% produksi Apple, termasuk 85-90% produksi iPhone, ditopang oleh fasilitas perakitan di Negeri Tirai Bambu. Raksasa teknologi asal Cupertino ini bermitra dengan sejumlah manufaktur besar yang berbasis di Taiwan, seperti Foxconn, Pegatron, Wistron, dan Compal Electronics.
Foxconn, misalnya, memiliki fasilitas perakitan di Zhengzhou dan Shenzhen yang dijuluki "Kota iPhone". Pabrik-pabrik ini mempekerjakan ratusan ribu pekerja dan mampu menghasilkan jutaan perangkat dalam waktu singkat dengan kualitas yang tinggi. Salah satu faktor utama yang membuat China menjadi lokasi produksi favorit Apple adalah upah tenaga kerja yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Data menunjukkan bahwa pekerja Apple di Foxconn menerima upah sekitar 3,63 dollar AS per jam (sekitar Rp 61.134 dengan kurs Rp 16.84), jauh di bawah upah minimum di California yang mencapai 16,50 dollar AS per jam (sekitar Rp 277.884). Perbedaan upah yang mencolok inilah yang menjadi pemicu utama perkiraan lonjakan biaya produksi jika iPhone diproduksi di AS.
Dampak Kenaikan Harga yang Signifikan
Analis Bank of America Securities, Wamsi Mohan, memperkirakan bahwa hanya dengan memindahkan proses perakitan akhir ke AS, harga iPhone 16 Pro bisa naik sekitar 25%. Artinya, iPhone 16 Pro yang saat ini dijual seharga 1.199 dollar AS (sekitar Rp 20 juta) bisa melonjak menjadi sekitar 1.500 dollar AS (sekitar Rp 25 juta).
Lebih lanjut, jika seluruh rantai pasok iPhone, mulai dari produksi chip hingga pengemasan, dipindahkan ke AS, kenaikan harga bisa menjadi lebih ekstrem. Mohan menyebutkan bahwa memindahkan seluruh rantai pasokan akan menjadi pekerjaan yang sangat besar dan memakan waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin tidak mungkin.
Analis Wedbush Securities, Dan Ives, bahkan memperkirakan bahwa harga iPhone yang sepenuhnya dibuat di AS bisa mencapai 3.500 dollar AS (sekitar Rp 58 juta). Ives menambahkan bahwa Apple perlu menginvestasikan sekitar 30 miliar dollar AS dalam waktu tiga tahun hanya untuk memindahkan 10% rantai pasokannya. Perkiraan ini menggambarkan betapa mahalnya produksi iPhone di dalam negeri.
Biaya tersebut juga belum mencakup dampak tarif impor terhadap komponen yang masih harus dibeli dari luar negeri, seperti layar dari Korea Selatan dan prosesor dari TSMC di Taiwan. Tanpa pengecualian tarif, Apple akan terkena beban pajak tambahan untuk sebagian besar komponennya, yang akan semakin mendongkrak harga produk-produk Apple buatan AS.
Mohan dari Bank of America Securities bahkan memperkirakan bahwa jika tarif maksimal diberlakukan dan produksi dipindahkan ke AS, harga iPhone 16 Pro Max bisa melonjak hingga 91% dari harga saat ini.
Bukan Upaya Pertama
Upaya untuk memindahkan produksi Apple ke AS sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun 2017, Foxconn sempat mengumumkan pembangunan pabrik senilai 10 miliar dollar AS di Wisconsin yang dijanjikan akan menciptakan 13.000 lapangan kerja baru. Namun, proyek tersebut gagal memproduksi perangkat Apple dan beralih ke produksi masker wajah selama pandemi. Pabrik tersebut kini hanya mempekerjakan sekitar 1.400 orang dan fasilitasnya belum siap 100%.
Apple juga pernah mencoba memproduksi iPhone di Brasil. Namun, meskipun investasi besar telah digelontorkan, sebagian besar komponen tetap harus diimpor dari Asia. Akibatnya, pada tahun 2015, harga iPhone buatan Brasil hampir dua kali lipat dibandingkan dengan yang diproduksi di China.
Keterbatasan Sumber Daya di AS
Sekalipun biaya bukan menjadi masalah, Apple diperkirakan akan menghadapi keterbatasan dalam hal penyerapan sumber daya tenaga kerja di AS. CEO Apple, Tim Cook, telah menegaskan bahwa AS kekurangan sumber daya di bidang manufaktur, khususnya teknisi perkakas (tooling engineer) yang memegang peran penting dalam produksi.
Cook menjelaskan bahwa jumlah tooling engineer di China sangat besar, bahkan bisa memenuhi beberapa "lapangan sepak bola". Kondisi ini sangat berbeda dengan di AS yang jumlahnya jauh lebih terbatas.