Menghadapi Krisis Demografi, Jepang Tempuh Berbagai Strategi: Mulai dari Program Perjodohan hingga Peningkatan Kesejahteraan Keluarga

Jepang Bergulat dengan Penurunan Populasi yang Signifikan

Data terbaru menunjukkan bahwa Jepang sedang menghadapi tantangan demografis yang serius. Jumlah penduduk Jepang mengalami penurunan drastis, mencapai 120,3 juta jiwa pada Oktober 2024. Penurunan sebesar 898.000 jiwa dibandingkan tahun sebelumnya merupakan rekor yang mengkhawatirkan. Kondisi ini menempatkan Jepang sebagai salah satu negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, memicu dampak luas terhadap masyarakat dan perekonomian, termasuk kekurangan tenaga kerja dan penurunan konsumsi.

Penurunan populasi ini merupakan yang terbesar sejak pencatatan data dimulai pada tahun 1950. Jika memasukkan warga negara asing, total penduduk Jepang menyusut sebanyak 550.000 jiwa menjadi 123,8 juta jiwa, menandai penurunan tahunan ke-14 berturut-turut. Dari 47 prefektur, hanya Tokyo dan Saitama yang mengalami pertumbuhan populasi, sementara 45 prefektur lainnya mengalami penurunan. Penurunan paling signifikan terjadi di Prefektur Akita, yang terletak di bagian utara Pulau Honshu. Populasi Jepang mencapai puncaknya pada tahun 2008 dan terus menyusut sejak itu karena angka kelahiran yang terus menurun.

Strategi Pemerintah Jepang dalam Menangani Krisis Demografi

Menyadari urgensi situasi ini, Pemerintah Jepang telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah penurunan populasi. Kepala Sekretaris Kabinet, Yoshimasa Hayashi, menyatakan bahwa pemerintah berfokus pada pemberian dukungan finansial kepada calon orang tua muda. Tujuannya adalah untuk meringankan beban ekonomi yang seringkali menjadi penghalang bagi pasangan untuk memiliki anak.

Beberapa strategi utama yang diterapkan pemerintah Jepang meliputi:

  • Peningkatan Upah: Pemerintah berupaya mendorong perusahaan untuk meningkatkan upah, terutama bagi generasi muda. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan stabilitas keuangan dan memberikan rasa aman bagi pasangan yang ingin berkeluarga.
  • Bantuan Pengasuhan Anak: Pemerintah menyediakan berbagai bentuk bantuan pengasuhan anak, seperti subsidi biaya penitipan anak dan program cuti orang tua yang lebih fleksibel. Bantuan ini bertujuan untuk meringankan beban pengasuhan anak dan memungkinkan orang tua untuk tetap aktif dalam dunia kerja.
  • Program Perjodohan: Pemerintah juga memfasilitasi program perjodohan dengan harapan dapat membantu lebih banyak orang menemukan pasangan dan membentuk keluarga. Program ini mencakup berbagai kegiatan, seperti acara kencan kelompok, seminar pernikahan, dan konsultasi hubungan.

Hayashi menekankan bahwa pemerintah memahami bahwa penurunan angka kelahiran disebabkan oleh kesulitan finansial yang dihadapi oleh banyak orang yang ingin memiliki anak. Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah komprehensif untuk menciptakan masyarakat di mana setiap orang yang ingin memiliki anak dapat mewujudkan impian mereka.

Selain upaya-upaya di atas, Jepang juga mempertimbangkan untuk melonggarkan kebijakan imigrasi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja. Namun, perubahan kebijakan imigrasi memerlukan pertimbangan yang cermat untuk memastikan integrasi yang sukses dan menghindari dampak sosial yang negatif. Pada tahun 2023, Perdana Menteri saat itu, Fumio Kishida, mengumumkan alokasi anggaran sebesar 3,5 triliun yen per tahun untuk mendukung program perawatan anak dan langkah-langkah lain yang ditujukan untuk membantu orang tua.

Krisis demografi yang dihadapi Jepang merupakan tantangan kompleks yang memerlukan solusi inovatif dan berkelanjutan. Dengan kombinasi strategi yang berfokus pada dukungan finansial, bantuan pengasuhan anak, dan program perjodohan, Pemerintah Jepang berharap dapat membalikkan tren penurunan populasi dan menciptakan masa depan yang lebih sejahtera bagi negara ini.