Tarif Impor AS Picu Perdebatan: Peluang atau Ancaman Bagi Perekonomian Indonesia?
Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap barang-barang elektronik dari berbagai negara, termasuk Indonesia, memicu perdebatan di kalangan ekonom dan pengamat kebijakan. Penerapan tarif yang signifikan, seperti 145% untuk China dan 32% untuk Indonesia, memunculkan dua perspektif yang berbeda mengenai dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.
Perspektif Pertama: Spillover Effect dan Potensi Kerugian
Dr. Wildan Syafitri, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB), menyoroti motif utama di balik kebijakan tarif Trump, yaitu perlindungan ekonomi domestik AS. Tujuan utamanya adalah mengurangi defisit neraca perdagangan AS terhadap China. Namun, kebijakan ini berpotensi menciptakan spillover effect, yaitu dampak yang menyebar dari suatu peristiwa ekonomi ke perekonomian negara lain, termasuk Indonesia.
China sebagai negara pengekspor sekaligus pengimpor bahan baku dari negara lain, termasuk Indonesia, akan terkena dampak kenaikan tarif impor. Hal ini dapat memengaruhi permintaan terhadap bahan baku dari Indonesia, yang pada akhirnya berdampak pada kinerja ekspor Indonesia. Dr. Wildan juga menyoroti kontradiksi antara kebijakan tarif Trump dengan prinsip perdagangan bebas. Dalam teori ekonomi klasik, persaingan ekonomi global seharusnya didasarkan pada daya saing produk, bukan pada tarif.
Kebijakan tarif, menurut Dr. Wildan, berpotensi menurunkan consumer surplus karena harga barang cenderung meningkat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan terjadinya dead weight loss, di mana tidak ada pihak yang memperoleh keuntungan. Ketidakpastian politis akibat kebijakan tarif yang diterapkan secara tiba-tiba juga dapat mendorong negara lain untuk melanggar prinsip perdagangan bebas, yang pada akhirnya berisiko bagi bisnis dan investasi.
Untuk mengatasi potensi dampak negatif ini, Dr. Wildan menyarankan beberapa solusi, antara lain:
- Pengalihan produk ekspor AS ke negara lain, seperti Singapura.
- Peningkatan daya saing ekspor melalui investasi inovasi.
- Peningkatan kemudahan bisnis.
- Pendorong supply dan demand dalam negeri.
Perspektif Kedua: Peluang Relokasi Industri dan Investasi
Andhyka Muttaqin, dosen Kebijakan Publik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB), memiliki pandangan yang berbeda. Ia menilai bahwa kebijakan penangguhan tarif AS dapat memberikan dampak positif terhadap iklim investasi di Indonesia. Hal ini terutama karena menciptakan kepastian jangka pendek dan peluang relokasi industri dari China.
Peningkatan tarif impor AS terhadap produk China akan menciptakan tekanan besar bagi perusahaan-perusahaan global berbasis di China. Akibatnya, mereka akan mencari negara lain untuk mengekspor produknya, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang paling berpotensi, terutama dalam sektor manufaktur berorientasi ekspor. Hal ini dapat meningkatkan foreign direct investment (FDI) dari perusahaan multinasional yang ingin menghindari tarif tinggi di China.
Andhyka juga menilai bahwa kebijakan resiprokal 90 hari ini merupakan peluang bagi Pemerintah Indonesia untuk memperkuat posisi dalam perundingan perdagangan dan investasi. Pemerintah dapat menegosiasikan perlakuan khusus untuk produk strategis Indonesia atau memperluas fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).
Untuk memaksimalkan manfaat dari peluang ini, Andhyka menekankan perlunya Pemerintah Indonesia bergerak cepat dengan:
- Diplomasi dagang aktif.
- Reformasi kebijakan investasi dalam negeri.
Kedua perspektif ini menyoroti kompleksitas dampak kebijakan tarif impor AS terhadap perekonomian Indonesia. Meskipun berpotensi memberikan peluang investasi dan relokasi industri, Indonesia juga perlu mewaspadai potensi spillover effect dan dampaknya terhadap ekspor dan daya saing. Respons kebijakan yang tepat dan cepat sangat penting untuk mengoptimalkan manfaat dan meminimalkan risiko dari kebijakan tarif ini.