Krisis Demografi Jepang: Fenomena Penolakan Generasi Muda terhadap Pernikahan dan Keluarga

Jepang menghadapi tantangan demografi yang semakin kompleks dengan penurunan populasi yang mencapai rekor terendah dalam tujuh dekade terakhir. Data terbaru menunjukkan jumlah penduduk Negeri Sakura menyusut hingga 898.000 jiwa pada Oktober 2024, menempatkan total populasi di angka 120,3 juta. Situasi ini memicu kekhawatiran serius di kalangan pakar kependudukan dan pembuat kebijakan.

Analisis mendalam mengungkapkan beberapa faktor kunci yang mendorong tren ini:

  • Perubahan pola pikir generasi muda: Survei nasional mengindikasikan 25,4% perempuan dan 26,5% laki-laki kelompok usia 30-an secara terbuka menyatakan ketidaktertarikan pada institusi pernikahan
  • Dinamika gender yang berubah: Perempuan modern lebih memprioritaskan karier dan kebebasan pribadi dibandingkan peran tradisional sebagai ibu rumah tangga
  • Tekanan ekonomi: Biaya hidup yang melambung tinggi di perkotaan dan ketidakpastian pekerjaan menjadi penghalang utama bagi kaum muda untuk membentuk keluarga

Kasus Sho, warga Saitama, menjadi contoh nyata perubahan nilai ini. "Kebebasan mengatur hidup sesuai keinginan pribadi memberi kepuasan yang tidak bisa digantikan oleh kehidupan berkeluarga," ungkapnya, mencerminkan sikap banyak anak muda Jepang kontemporer. Fenomena sosial ini diperparah oleh:

  • Budaya kerja yang tidak ramah keluarga
  • Minimnya dukungan bagi orang tua bekerja
  • Beban finansial pendidikan anak yang semakin berat

Pemerintah Jepang telah mengakui urgensi masalah ini melalui berbagai laporan resmi, termasuk Laporan Gender Kantor Kabinet 2022. Namun solusi konkret masih belum terlihat efektif mengatasi akar masalah yang multidimensional ini.