Kebijakan Tarif Donald Trump: Antara Populisme dan Dampak Ekonomi Global

Kebijakan tarif resiprokal yang diusung oleh Donald Trump kembali menimbulkan gelombang reaksi dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Langkah ini bukanlah hal baru dalam sejarah perdagangan Amerika Serikat, namun dampaknya terhadap ekonomi global tetap signifikan. Trump, yang dikenal dengan pendekatan populismenya, menggunakan kebijakan ini sebagai alat untuk menekan mitra dagang yang dianggap memiliki surplus perdagangan dengan AS.

Secara historis, kebijakan tarif di AS memiliki tiga motif utama:

  1. Pendapatan Negara (Revenues): Tarif digunakan untuk meningkatkan pemasukan negara melalui bea masuk barang impor.
  2. Pembatasan (Restriction): Tarif tinggi diterapkan untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan barang impor.
  3. Resiprokal (Reciprocal): Tarif disesuaikan dengan kebijakan mitra dagang untuk menciptakan perdagangan yang adil.

Kebijakan tarif Trump kali ini lebih condong ke motif resiprokal, meskipun banyak pengamat meragukan efektivitasnya. Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan serupa, seperti Smoot-Hawley Act di era 1930-an, justru memperburuk ekonomi AS dan memicu perlambatan perdagangan global. Bahkan, kebijakan proteksionis seringkali berujung pada konflik, seperti Perang Saudara AS yang dipicu oleh tarif tinggi pada produk pertanian.

Dampak kebijakan Trump ini tidak hanya dirasakan oleh mitra dagang AS, tetapi juga oleh konsumen dan industri dalam negeri. Kenaikan tarif berpotensi meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat memicu inflasi dan pengangguran. Selain itu, kebijakan ini juga dinilai kurang berdasar secara teoritis, karena lebih didorong oleh narasi populisme Trump yang anti-kemapanan dan cenderung emosional.

Dalam konteks global, Trump tampaknya ingin menggunakan kebijakan tarif sebagai alat untuk memaksa negosiasi bilateral. Pendekatan ini pernah berhasil dalam kasus perjanjian dagang dengan China di masa lalu, meskipun hasilnya tidak selalu optimal. Bagi Indonesia, langkah terbaik mungkin adalah menjalin komunikasi langsung dengan Trump untuk menyesuaikan kebijakan perdagangan yang lebih menguntungkan kedua belah pihak.