Kebijakan Pajak Emisi Pelayaran Global Picu Kekecewaan Negara Rentan Iklim

Negara-negara berkembang, khususnya negara kepulauan kecil, menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap kebijakan pajak karbon sektor pelayaran internasional yang baru saja disahkan oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO). Meski dianggap sebagai terobosan bersejarah, regulasi ini dinilai tidak memadai untuk menahan laju perubahan iklim yang mengancam eksistensi wilayah pesisir dan pulau-pulau rendah.

Berikut poin-poin kritis dalam kebijakan tersebut: - Penerapan bertahap dimulai 2028 dengan tarif USD 380 per ton emisi karbon - Denda tambahan USD 100 per ton untuk emisi melebihi batas yang ditetapkan - Proyeksi pendapatan hanya mencapai USD 10 miliar per tahun, jauh di bawah estimasi kebutuhan mitigasi iklim

"Kebijakan ini bagai memberi obat penawar pada pasien kritis dengan dosis substandar," protes perwakilan Aliansi Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) yang memilih abstain dalam voting. Sebanyak 24 negara, termasuk sembilan anggota Forum Kepulauan Pasifik, secara resmi mengajukan nota keberatan atas hasil negosiasi yang berlangsung di markas IMO London.

Polarisasi sikap negara maju semakin terlihat ketika Amerika Serikat secara mengejutkan menarik diri dari seluruh proses perundingan. Pemerintah Washington menegaskan penolakan terhadap segala bentuk pungutan wajib bagi kapal-kapal berbendera AS, menyebutnya sebagai pelanggaran kedaulatan maritim.

Sektor pelayaran yang menjadi penyumbang 3% emisi global dan tulang punggung 90% perdagangan dunia kini berada di persimpangan jalan. Target pengurangan emisi 20% pada 2030 yang ditetapkan IMO dinilai tidak konsisten dengan komitmen Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C. Para ahli memperingatkan bahwa tanpa mekanisme pendanaan yang memadai, negara-negara berkembang akan kesulitan beradaptasi dengan dampak krisis iklim yang semakin nyata.