Polemik Rencana Pangkalan Militer Rusia di Papua: Ancaman bagi Kedaulatan dan Stabilitas Kawasan
Jakarta – Wacana pembangunan pangkalan militer Rusia di Biak, Papua, memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk kalangan legislatif. Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menegaskan bahwa rencana tersebut bertentangan dengan konstitusi dan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
"Keberadaan pangkalan militer asing di wilayah Indonesia jelas melanggar hukum dan merongrong kedaulatan negara. Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyangkut martabat bangsa," tegas Hasanuddin dalam pernyataan resminya. Ia menambahkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia harus tetap independen dan tidak terikat oleh kepentingan kekuatan global mana pun.
Laporan media internasional menyebutkan bahwa Rusia telah mengajukan permohonan resmi kepada pemerintah Indonesia untuk menggunakan Lanud Manuhua sebagai basis operasional pesawat tempurnya. Permintaan ini diajukan usai pertemuan antara pejabat Kementerian Pertahanan RI dengan perwakilan Dewan Keamanan Rusia awal tahun ini. Namun, hingga saat ini, Kementerian Pertahanan RI mengaku belum menerima informasi resmi terkait hal tersebut.
Dampak Geopolitik dan Keamanan Regional
- Ketegangan ASEAN: Kehadiran pangkalan militer asing berpotensi memicu ketidakstabilan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di antara negara-negara anggota ASEAN.
- Prinsip Bebas Aktif: Kebijakan ini bisa terganggu jika Indonesia dianggap berpihak pada salah satu blok kekuatan global.
- Ancaman Kedaulatan: Pembangunan pangkalan militer asing dapat mengurangi kendali Indonesia atas wilayah teritorialnya.
Hasanuddin juga mengingatkan bahwa langkah semacam ini berisiko menjerumuskan Indonesia ke dalam konflik geopolitik yang lebih luas. "Kita harus belajar dari sejarah. Keterlibatan dalam persaingan kekuatan besar hanya akan merugikan kepentingan nasional," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Pertahanan RI melalui juru bicaranya, Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang, menyatakan bahwa pihaknya masih melakukan verifikasi terhadap laporan tersebut. "Sampai saat ini, kami belum menemukan dokumen atau kesepakatan resmi yang mendukung klaim ini," jelas Frega.