Peningkatan Angka Kelahiran di Korea Selatan: Sebuah Tren Sementara atau Pergeseran Permanen?
Peningkatan Angka Kelahiran di Korea Selatan: Sebuah Tren Sementara atau Pergeseran Permanen?
Korea Selatan, negara dengan salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia, mencatat peningkatan jumlah kelahiran pada tahun 2024. Data dari Badan Statistik Korea menunjukkan angka kelahiran mencapai 238.300 bayi, meningkat 3,6% dibandingkan tahun 2023. Kenaikan ini, meskipun patut diapresiasi di tengah krisis demografis yang dihadapi negara tersebut, memicu perdebatan mengenai keberlanjutan tren ini. Para ahli memberikan pandangan yang beragam, menunjuk pada berbagai faktor yang mungkin berkontribusi pada peningkatan sementara ini, dan mempertanyakan apakah hal ini menandakan perubahan signifikan dalam jangka panjang.
Salah satu faktor yang diidentifikasi adalah lonjakan jumlah pernikahan pada tahun 2024, yang mencapai peningkatan sebesar 14,9%, angka tertinggi sejak pencatatan data dimulai pada tahun 1970. Kenaikan ini, menurut Wakil Ketua Komite Kepresidenan untuk Masyarakat yang Menua dan Kebijakan Kependudukan, Joo Hyung-hwan, merupakan indikasi awal keberhasilan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan angka kelahiran. Pemerintah di bawah Presiden Yoon Suk Yeol (sebelum pemberhentian sementara) telah memprioritaskan isu demografis ini, mengimplementasikan berbagai kebijakan, termasuk peningkatan bantuan tunai untuk orang tua, perubahan regulasi cuti melahirkan bagi karyawan, serta alokasi dana besar untuk program dukungan keluarga.
Namun, para analis ekonomi dan demografi tetap skeptis. Profesor Hyobin Lee dari Universitas Sogang menyoroti bahwa tingkat kesuburan total masih berada di bawah angka 1,0, jauh di bawah angka 2,1 yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas populasi. Ia juga menekankan meningkatnya konflik gender dan kesenjangan ekonomi sebagai faktor penghambat peningkatan angka kelahiran secara berkelanjutan. Senada dengan itu, ekonom Park Saing-in dari Seoul National University berpendapat bahwa peningkatan ini mungkin hanya bersifat sementara, sebagai dampak pemulihan pasca pandemi COVID-19, yang menyebabkan penundaan pernikahan dan kelahiran. Ia memperkirakan angka kelahiran akan kembali menurun dalam waktu satu tahun ke depan.
Beberapa kebijakan pemerintah memang terlihat memberikan dampak positif, seperti perubahan regulasi cuti melahirkan yang memberikan cuti lebih panjang bagi orang tua, dan kewajiban perusahaan untuk mencantumkan rincian kebijakan yang ramah anak dan orang tua. Alokasi dana sebesar 19,7 triliun won Korea (€12,9 miliar, $13,5 miliar) untuk dukungan keluarga juga menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Namun, biaya hidup yang tinggi, khususnya di kota-kota besar, serta biaya pendidikan yang mahal, tetap menjadi tantangan besar bagi pasangan yang ingin memiliki anak.
Selain itu, faktor sosial budaya juga memainkan peranan penting. Stigma terhadap anak-anak di luar nikah dan ibu tunggal, serta sikap tradisional tertentu, turut memengaruhi keputusan pasangan dalam memiliki anak. Profesor Lee menyarankan agar pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih komprehensif, misalnya dengan mewajibkan pria untuk mengambil cuti orang tua, guna mengurangi beban pada perempuan dan mengatasi ketakutan akan terganggunya karir mereka. Peningkatan pernikahan internasional juga berkontribusi pada peningkatan angka kelahiran, namun hal ini bukan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, peningkatan angka kelahiran di Korea Selatan pada tahun 2024 merupakan perkembangan yang menggembirakan, namun masih terlalu dini untuk menyatakannya sebagai sebuah tren yang berkelanjutan. Tantangan ekonomi, sosial, dan budaya yang kompleks masih menghalangi peningkatan angka kelahiran secara signifikan. Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, yang tidak hanya memberikan insentif finansial, tetapi juga mengatasi isu-isu struktural yang mendasari rendahnya angka kelahiran di negara tersebut. Peran aktif pemerintah dalam merubah persepsi sosial dan budaya, khususnya terkait peran pria dalam pengasuhan anak, akan sangat krusial untuk keberhasilan jangka panjang upaya peningkatan angka kelahiran di Korea Selatan.