Fenomena Penurunan Angka Kelahiran: Generasi Muda Lebih Memilih Hidup Lajang

Tren global menunjukkan penurunan angka kelahiran di berbagai negara maju, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Di AS, misalnya, tingkat fertilitas total (TFR) telah mencapai rekor terendah, yakni 1,7 kelahiran per wanita—jauh di bawah angka 2,1 yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas populasi. Fenomena ini tidak lepas dari perubahan pola pikir generasi muda, terutama milenial dan Gen Z, yang semakin enggan menikah atau memiliki anak.

Faktor ekonomi dan kemandirian finansial menjadi pemicu utama. Robert VerBruggen, peneliti dari Manhattan Institute dan Institute for Family Studies, menyatakan bahwa wanita kini lebih mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa bergantung pada pasangan. "Dulu, pernikahan dianggap sebagai jaminan stabilitas finansial bagi wanita, tetapi sekarang mereka bisa mandiri secara ekonomi," ujarnya. Selain itu, biaya hidup yang tinggi dan tantangan karir membuat banyak pasangan mempertimbangkan ulang keputusan untuk memiliki anak.

Perubahan budaya dan pengaruh media turut membentuk persepsi generasi muda. Kehidupan lajang kerap digambarkan sebagai simbol kebebasan dan kemandirian dalam budaya populer. Media sosial dan konten digital memperkuat narasi ini, menjadikan hidup tanpa ikatan pernikahan sebagai pilihan yang lebih menarik. "Budaya kita mulai mengglamorkan kehidupan lajang dan menormalisasi penundaan pernikahan," tambah Robert.

Teknologi dan media sosial juga memengaruhi dinamika hubungan. Meski platform digital memudahkan pencarian pasangan, mereka juga menciptakan paradoks: pilihan yang berlimpah justru membuat generasi muda lebih selektif—dan terkadang sinis—terhadap komitmen jangka panjang. "Interaksi online mengubah cara orang menjalin hubungan, tetapi juga mengurangi kedalaman hubungan di dunia nyata," jelas Robert. Pergeseran ini semakin memperkuat kecenderungan generasi muda untuk menghindari ikatan pernikahan dan tanggung jawab keluarga.