Nelayan Muara Angke Menuntut Fleksibilitas Zona Tangkap Ikan
Jakarta – Kelompok nelayan tradisional di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara, mengajukan protes keras terhadap kebijakan zonasi penangkapan ikan yang diterapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kebijakan ini dinilai membatasi ruang gerak para nelayan, sehingga berdampak signifikan terhadap pendapatan mereka.
Menurut Nunung (60), perwakilan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) sekaligus Ketua RW 21 Pluit, kebijakan zonasi yang diberlakukan sejak 2023 memaksa nelayan memilih antara dua wilayah tangkapan:
- Wilayah 711: Meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan.
- Wilayah 712: Mencakup perairan Laut Jawa.
"Dulu, kami bebas melaut di mana saja selama masih dalam batas wilayah Indonesia. Sekarang, kami harus memilih salah satu zona, dan itu sangat menyulitkan," ujar Nunung dalam wawancara di Muara Angke.
Ia menambahkan, mayoritas nelayan setempat memilih Laut Jawa karena kendala logistik dan ekonomi. Jika melaut di Wilayah 711, hasil tangkapan harus dijual di lokasi tersebut dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan di Jakarta. "Biaya operasional tidak tertutup, apalagi fasilitas pendingin di sana tidak memadai," keluhnya.
Sebelumnya, nelayan Muara Angke berada di bawah kewenangan Pemprov DKI Jakarta dan tidak terikat aturan zonasi. Namun, setelah kewenangan dialihkan ke KKP karena jarak melampaui 12 mil laut, kebijakan baru ini mulai diterapkan secara ketat. Para nelayan berharap KKP mempertimbangkan kelonggaran zonasi atau setidaknya memberikan opsi tambahan agar mereka tidak terus merugi.