Polemik Syarat Caleg: KTP dan Domisili Lima Tahun di Dapil Dinilai Batasi Hak Konstitusional

Polemik Syarat Caleg: KTP dan Domisili Lima Tahun di Dapil Dinilai Batasi Hak Konstitusional

Anggota Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan keberatannya terhadap gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Stikubank Semarang. Gugatan tersebut mengusulkan agar calon anggota legislatif (caleg) wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan berdomisili minimal lima tahun di daerah pemilihan (dapil) yang mereka wakili. Rifqi, politikus Partai Nasdem, menilai syarat tersebut berpotensi menghambat hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

"Saya kurang sepakat dengan substansi bahwa caleg, apalagi anggota DPR terpilih, harus berasal dari dapil setempat, terlebih bukti yang digunakan hanya sekadar administratif, seperti KTP selama 5 tahun," tegas Rifqi. Ia menekankan bahwa pengabdian seorang wakil rakyat terhadap dapilnya tidak dapat diukur semata-mata dari data administrasi kependudukan. Keberpihakan tersebut, menurutnya, lebih terukur dari kinerja dan perjuangan anggota dewan dalam memperjuangkan kepentingan konstituennya di parlemen. "Keberpihakan terhadap Dapil itu bisa diukur dari beberapa hal, salah satunya memperjuangkan dapilnya melalui fungsinya sebagai anggota DPR. Dan itu tidak relate sama sekali dengan KTP yang bersangkutan," tambahnya.

Lebih lanjut, Rifqi berpendapat bahwa gugatan tersebut berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara. Aturan yang diusulkan dinilai diskriminatif karena dapat menghalangi individu yang memenuhi syarat lainnya, namun tidak memiliki KTP di dapil tertentu, untuk berkontribusi dalam perwakilan rakyat. "Permohonan ini berpotensi untuk kemudian melanggar hak konstitusional warga negara untuk kemudian bisa menjadi anggota DPR, hanya karena yang bersangkutan tidak berasal atau tidak memiliki KTP di daerah yang bersangkutan," ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, dan pemilu menjadi instrumen untuk mengukur penerimaan rakyat terhadap calon wakilnya. "Dan yang ketiga yang ingin saya katakan adalah bahwa alat ukur dalam pemilu itu adalah sejauh mana ia diterima dan dipilih oleh rakyat. Rakyatlah yang memiliki kedaulatan tertinggi," pungkas Rifqi.

Di sisi lain, para mahasiswa penggugat, yang telah mendaftarkan gugatannya ke MK dengan nomor perkara 7/PUU-XXIII/2025, berargumen bahwa aturan tersebut penting untuk memastikan wakil rakyat benar-benar memahami kondisi dan kebutuhan masyarakat di dapilnya. Mereka menyoroti adanya anggota legislatif yang jarang mengunjungi dapilnya setelah terpilih, bahkan hanya satu atau dua kali dalam setahun. Mereka juga mengungkapkan kekhawatiran akan praktik pencalonan legislatif yang dilakukan partai politik, di mana caleg kerap dikirim dari pusat tanpa mempertimbangkan putra-putri daerah yang potensial. Mahasiswa menekankan perlunya aturan yang mewajibkan caleg tinggal di dapilnya selama lima tahun untuk meningkatkan kualitas representasi dan mengurangi praktik politik yang jauh dari aspirasi masyarakat.

Gugatan ini menimbulkan perdebatan publik mengenai keseimbangan antara hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan pentingnya representasi yang efektif di parlemen. Debat ini semakin relevan mengingat pentingnya peran wakil rakyat dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di daerah pemilihannya. Pertanyaannya kini adalah: bagaimana memastikan representasi yang baik tanpa membatasi hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat?