Skandal Suap Hakim Terungkap: Ketua PN Jaksel Diduga Bagikan Rp22,5 Miliar untuk Pengaruhi Perkara Ekspor CPO
Jakarta – Kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, semakin terkuak. Ia diduga mendistribusikan uang suap senilai total Rp22,5 miliar kepada tiga hakim yang menangani perkara ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk tiga korporasi besar, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Menurut keterangan resmi dari Kejaksaan Agung, uang suap tersebut awalnya diserahkan oleh Wahyu Gunawan, seorang panitera yang bertindak sebagai perantara. Wahyu menerima dana tersebut dari Ariyanto Bahri, kuasa hukum korporasi yang menjadi tersangka. Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, kemudian menunjuk tiga hakim untuk membentuk majelis yang mengadili perkara tersebut. Ketiga hakim tersebut adalah:
- Djuyamto (DJU) sebagai ketua majelis,
- Ali Muhtarom (AM) sebagai hakim ad hoc,
- Agam Syarif Baharudin (ASB) sebagai anggota majelis.
Setelah penetapan sidang dikeluarkan, Arif Nuryanta disebutkan memanggil Djuyamto dan Agam Syarif untuk memberikan uang senilai Rp4,5 miliar dalam bentuk dolar AS. Tidak berhenti di situ, pada September atau Oktober 2024, Arif kembali menyerahkan Rp18 miliar kepada Djuyamto untuk dibagikan kepada dua hakim lainnya. Pembagian tersebut rinciannya sebagai berikut:
- Agam Syarif Baharudin menerima Rp4,5 miliar,
- Djuyamto mendapatkan Rp6 miliar,
- Ali Muhtarom memperoleh Rp5 miliar.
Tujuan pembagian uang tersebut diduga kuat untuk memastikan putusan onslag atau pembebasan bagi ketiga korporasi tersebut. Kejaksaan Agung telah menetapkan Arif Nuryanta dan tiga orang lainnya sebagai tersangka, termasuk seorang panitera dan dua kuasa hukum korporasi. Mereka didakwa melanggar Pasal 12C jo. Pasal 12B jo. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, pada 19 Maret 2025, ketiga korporasi tersebut dinyatakan bebas dari semua tuntutan oleh Mahkamah Agung. Padahal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya telah mengajukan tuntutan berupa denda dan uang pengganti yang mencapai triliunan rupiah. Misalnya, Wilmar Group dituntut membayar denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp11,88 triliun, sementara Permata Hijau Group dan Musim Mas Group masing-masing dikenakan tuntutan serupa dengan nilai yang berbeda.
Kasus ini semakin memperlihatkan betapa seriusnya praktik suap dalam dunia peradilan Indonesia. Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menindak tegas semua pihak yang terlibat, termasuk para hakim dan perantara yang diduga memainkan peran kunci dalam skandal ini.