Anjloknya Produktivitas Kelapa di Indonesia: BRIN Solusikan dengan 60 Varietas Unggul

Anjloknya Produktivitas Kelapa di Indonesia: BRIN Solusikan dengan 60 Varietas Unggul

Produksi kelapa nasional tengah menghadapi tantangan serius. Data terbaru menunjukkan penurunan signifikan dalam produktivitas, yang dipicu oleh berkurangnya lahan perkebunan dan sejumlah faktor lain. Luas lahan kelapa yang tercatat pada tahun 2024 hanya mencapai 3,3 juta hektare, mengalami penyusutan dibandingkan dengan angka 3,4 juta hektare pada tahun 2017. Penurunan ini berdampak langsung pada hasil panen dan berpotensi mengancam keberlanjutan industri kelapa di Indonesia.

Menurut Hengky Novarianto, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), rendahnya produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor. Ia menjabarkan, usia tanaman kelapa yang sudah tua, minimnya penggunaan benih unggul, perawatan tanaman yang kurang optimal termasuk pemupukan yang tidak memadai, serangan hama dan penyakit, serta kematian pohon kelapa turut berkontribusi terhadap penurunan produksi. Khususnya, produk utama kelapa seperti butiran dan kopra mengalami dampak signifikan pada tingkat petani.

Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini, BRIN telah berupaya mengembangkan dan merilis sebanyak 60 varietas kelapa unggul. Di antara varietas tersebut, terdapat jenis kelapa genjah yang menjanjikan peningkatan produktivitas signifikan. Kelapa genjah, yang telah disebar sebanyak 13 varietas, memiliki karakteristik batang pendek, produktivitas tinggi hingga 120 butir per tahun, dan siklus hidup yang relatif singkat (3-4 tahun). Selain kelapa genjah, BRIN juga telah merilis varietas kelapa dalam, kelapa hibrida, dan diduga beberapa varietas kelapa semitol, masing-masing dengan keunggulan dan sifat unggul yang berbeda. Dengan strategi penanaman varietas yang tepat, BRIN optimistis dapat mendorong peningkatan produktivitas dan produksi kelapa secara signifikan.

Namun, tantangan dalam meningkatkan produktivitas kelapa tidak hanya terletak pada pengembangan varietas unggul. Hengky menekankan bahwa ketersediaan benih kelapa yang merata masih menjadi kendala utama. Ia juga menyoroti permasalahan pengalihfungsian lahan perkebunan kelapa untuk kepentingan proyek-proyek lain. Contoh kasus di Paniki, Manado, di mana lahan yang dipersiapkan untuk perkebunan kelapa sejak tahun 2000-2007 justru digunakan sebagai lokasi pacuan kuda, menjadi bukti nyata tantangan tersebut. Lebih lanjut, keterbatasan sumber benih dari pohon induk dan waktu observasi yang cukup panjang (tiga tahun) untuk jenis kelapa terbaru juga menjadi hambatan dalam percepatan pengembangan varietas unggul.

BRIN juga menghadapi kesulitan dalam membangun kebun induk untuk memurnikan varietas unggul melalui seleksi positif dan negatif. Meskipun beberapa varietas telah dinyatakan lulus uji, banyak pemerintah daerah yang belum menyediakan lahan yang dijanjikan untuk pembangunan kebun induk ini. Hal ini memperlambat proses pemurnian dan penyebaran varietas unggul secara luas. Keberhasilan program peningkatan produktivitas kelapa sangat bergantung pada kolaborasi yang efektif antara BRIN, pemerintah daerah, dan petani kelapa di seluruh Indonesia.

Langkah-langkah strategis yang komprehensif, meliputi penyediaan benih unggul yang merata, perlindungan lahan perkebunan, peningkatan pemeliharaan tanaman, serta dukungan penuh dari pemerintah daerah, sangat krusial untuk membalikkan tren penurunan produktivitas kelapa dan memastikan keberlanjutan industri kelapa di masa depan.