Paradoks Horor: Kesuksesan Komersial Berbanding Terbalik dengan Pengakuan Akademis

Paradoks Horor: Kesuksesan Komersial Berbanding Terbalik dengan Pengakuan Akademis

Industri perfilman dunia menyajikan fenomena menarik: genre horor yang secara komersial sukses di beberapa wilayah, justru mengalami kesulitan mendapatkan pengakuan di ajang penghargaan bergengsi seperti Academy Awards. Di Indonesia, misalnya, film horor seperti KKN di Desa Penari dan Pengabdi Setan mendominasi box office, membuktikan daya tarik genre ini terhadap penonton lokal. Namun, di kancah internasional, gambarnya sangat berbeda. Sudah 33 tahun sejak The Silence of the Lambs memenangkan penghargaan Best Picture di Academy Awards, belum ada lagi film horor yang mampu menyamai prestasi tersebut. Kegagalan The Substance di ajang penghargaan tahun ini semakin menguatkan tren ini.

The Silence of the Lambs, sebuah film yang hingga kini masih diperdebatkan penggolongannya genre, meraih lima penghargaan bergengsi di Oscar pada tahun 1992, yaitu Best Picture, Best Adapted Screenplay, Best Director, Best Actor, dan Best Actress. Prestasi ini hanya dicapai oleh tiga film lain sepanjang sejarah Oscar: It Happened One Night dan One Flew Over the Cuckoo's Nest. Meskipun banyak kritikus yang mengklasifikasikan film tersebut sebagai thriller atau kriminal, tak dapat disangkal bahwa unsur horor merupakan elemen penting dalam film tersebut. Perdebatan mengenai pengklasifikasian genre ini mengindikasikan adanya bias dan pandangan sebelah mata terhadap genre horor.

Rebekah McKendry, sutradara dan akademisi, dalam wawancara dengan BBC, menyingkap akar permasalahan ini. Ia menyatakan bahwa seringkali, ketika sebuah film horor meraih kesuksesan, genrenya akan diubah dalam pemberitaan media untuk menghindari label “horor” yang dianggap murahan dan kurang berbobot secara artistik. Pandangan ini secara implisit meremehkan genre horor dan menganggapnya tidak pantas mendapatkan pengakuan di level yang sama dengan genre film lainnya.

Namun, anggapan ini terbukti salah. Banyak film horor yang kaya akan pesan sosial, seperti Get Out (2017), yang mengantarkan Jordan Peele sebagai orang kulit hitam pertama yang memenangkan penghargaan Best Original Screenplay, dan Hereditary (2018), yang meskipun tidak meraih nominasi Oscar atau Golden Globes, mendapatkan 52 penghargaan dan 113 nominasi. Hereditary, dengan eksplorasi mendalam mengenai trauma, kehilangan, dan transformasi karakter, menunjukkan kedalaman tema yang bisa diangkat dalam genre horor.

The Substance, yang gagal meraih penghargaan di Oscar tahun ini, juga menyajikan pesan kuat tentang tekanan sosial terhadap perempuan dan standar kecantikan yang sewenang-wenang. Meskipun film ini menggunakan adegan-adegan yang eksplisit dan berdarah-darah, absurditas tersebut justru menegaskan kritik sosial film terhadap standar kecantikan yang tidak realistis. Kegagalan film ini dalam meraih penghargaan menunjukkan bahwa persepsi negatif terhadap genre horor masih menghantui industri perfilman, meskipun film-film horor terus membuktikan daya tarik dan kemampuannya dalam mengeksplorasi tema-tema kompleks secara artistik.

Kesimpulannya, kesuksesan komersial film horor di beberapa pasar, seperti Indonesia, tidak serta-merta berbanding lurus dengan pengakuan akademis. Persepsi negatif dan stereotipe terhadap genre horor sebagai sesuatu yang “murahan” dan kurang bernilai artistik masih menjadi penghalang utama bagi film-film horor untuk mendapatkan pengakuan yang layak di ajang penghargaan bergengsi. Perlu perubahan paradigma agar karya-karya film horor dapat diapresiasi secara adil berdasarkan kualitas artistiknya, terlepas dari genrenya.