Ketua PN Jaksel Terjerat Kasus Suap CPO, Anggota DPR Soroti Lemahnya Pengawasan Hakim
Jakarta – Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) menimbulkan reaksi keras dari anggota Komisi III DPR RI. Nasir Djamil menyatakan bahwa kasus ini mencerminkan kegagalan sistem pengawasan internal di lingkungan peradilan.
Nasir menegaskan bahwa praktik suap semacam ini tidak hanya merusak integritas hakim tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. "Ini bukti nyata bahwa pengawasan dan pembinaan hakim masih sangat lemah. Ketukan palu hakim seharusnya tidak bisa dibeli dengan uang," ujarnya. Ia mendesak Mahkamah Agung untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja hakim, terutama yang bertugas di wilayah Jabodetabek.
Selain Arif, Kejaksaan Agung juga menetapkan tiga tersangka lain, yaitu: - WG, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara - Marcella Santoso, Kuasa Hukum Korporasi - AR, seorang advokat
Mereka diduga terlibat dalam jaringan suap dan gratifikasi untuk memengaruhi putusan perkara tiga korporasi besar, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Ketiga perusahaan tersebut sebelumnya dibebaskan dari semua tuntutan dalam kasus fasilitas ekspor CPO pada Maret 2025.
Menurut dokumen Kejaksaan Agung, tuntutan awal terhadap ketiga korporasi meliputi: - Wilmar Group: Denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp11,88 triliun - Permata Hijau Group: Denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp937,5 miliar - Musim Mas Group: Denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp4,89 triliun
Jika tuntutan tidak dipenuhi, aset para direktur perusahaan berisiko disita dan dilelang, dengan ancaman hukuman penjara hingga 19 tahun. Kasus ini diduga melanggar UU Tipikor, khususnya Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 yang telah diubah dengan UU No. 20/2001.