Revisi UU TNI: Polemik Larangan Bisnis Prajurit dan Tuduhan Kepentingan Elite

Revisi UU TNI: Polemik Larangan Bisnis Prajurit dan Tuduhan Kepentingan Elite

Debat sengit mewarnai rencana revisi Undang-Undang (UU) TNI, khususnya terkait poin yang membahas penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit. Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, melontarkan tudingan keras bahwa revisi ini didorong oleh segelintir elite TNI yang ingin kembali menikmati era bisnis bebas seperti pada masa Orde Baru. Dalam konferensi pers daring dan luring, Hussein menyatakan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan, seperti rasa simpati terhadap prajurit yang terpaksa berjualan untuk menambah penghasilan, hanyalah kamuflase.

"Klaim keprihatinan terhadap kesejahteraan prajurit yang berjualan sayur atau menjadi pengemudi ojek online, sebagai dasar untuk menghapus larangan berbisnis, merupakan cara pandang yang keliru," tegas Hussein. Ia menduga, revisi ini didorong oleh kepentingan elit TNI untuk kembali berbisnis di sektor-sektor yang menguntungkan, seperti pertambangan. Hussein menekankan perlunya peningkatan kesejahteraan prajurit, bukan dengan memberikan izin berbisnis, melainkan dengan kebijakan yang lebih terarah dan komprehensif. Ia menambahkan bahwa fokus seharusnya diarahkan pada peningkatan kesejahteraan prajurit agar mereka dapat fokus pada tugas pokoknya, bukan terbebani oleh aktivitas bisnis sampingan.

Pandangan berbeda disampaikan oleh Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason, Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum. Rodon berpendapat bahwa prajurit, khususnya bintara dan tamtama, seharusnya tidak dilarang berbisnis. Ia menyorot rendahnya uang pensiun yang diterima para bintara dan tamtama, hanya 70 persen dari gaji pokok mereka. Dengan penghasilan pensiun yang minim, kata Rodon, para prajurit akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurutnya, larangan berbisnis justru akan mempersulit kehidupan mereka setelah pensiun.

"Bayangkan, seorang sersan yang pensiun hanya menerima 70 persen dari gaji pokoknya. Apa yang akan dia lakukan? Banyak dari mereka kemudian beralih ke bisnis kecil-kecilan, seperti berjualan bakso, untuk memenuhi kebutuhan hidup," ujar Rodon. Ia memberikan contoh kasus, bahkan pensiun seorang Jenderal bintang empat hanya menerima Rp 5,2 juta per bulan. Rodon bahkan menyarankan agar naluri berbisnis prajurit diasah sejak masih aktif bertugas, sebagai bekal untuk masa pensiun mereka.

Perdebatan ini mengungkap celah dan kompleksitas dalam sistem kesejahteraan prajurit TNI. Di satu sisi, terdapat kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang jika prajurit diizinkan berbisnis. Di sisi lain, ada realitas ekonomi yang dihadapi prajurit, terutama bintara dan tamtama, yang membutuhkan tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, baik saat masih aktif maupun setelah pensiun. Revisi UU TNI ini, karenanya, membutuhkan kajian yang lebih komprehensif dan mempertimbangkan semua aspek, termasuk mekanisme pengawasan yang ketat untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan.

Pembahasan revisi UU TNI di DPR saat ini juga mencakup isu penting lainnya, seperti usia pensiun tentara dan pengisian jabatan sipil. Semua isu ini membutuhkan pertimbangan yang matang agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih luas bagi institusi TNI dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berikut poin-poin penting yang perlu diperhatikan dalam revisi UU TNI:

  • Peningkatan kesejahteraan prajurit TNI
  • Mekanisme pengawasan yang ketat terkait larangan bisnis prajurit
  • Penyesuaian usia pensiun yang relevan dengan kondisi saat ini
  • Tata cara pengisian jabatan sipil yang transparan dan akuntabel
  • Menjaga profesionalisme dan netralitas TNI