Imparsial Kritik Revisi UU TNI: Prioritaskan Kesejahteraan Prajurit, Bukan Legalisasi Bisnis

Imparsial Kritik Revisi UU TNI: Prioritaskan Kesejahteraan, Bukan Legalisasi Bisnis

Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, melontarkan kritik tajam terhadap revisi Undang-Undang TNI yang tengah dibahas DPR. Hussein mempertanyakan logika di balik rencana penghapusan larangan bisnis bagi prajurit TNI, yang dikemukakan dengan dalih keprihatinan terhadap kesejahteraan prajurit di lapangan. Dalam konferensi pers bertajuk "Revisi UU TNI Menghidupkan Dwifungsi" pada Kamis (6/3/2025), Hussein menekankan bahwa solusi atas permasalahan ekonomi prajurit bukanlah memberikan izin berbisnis, melainkan meningkatkan kesejahteraan mereka secara signifikan.

Hussein menuturkan, fenomena prajurit yang terpaksa bekerja sampingan sebagai pengemudi ojek online atau pedagang sayur menandakan adanya kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan anggotanya. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab utama atas hal ini berada pada pundak Panglima TNI. "Jika prajurit di lapangan sampai harus mencari nafkah tambahan dengan menjadi ojek online atau berjualan sayur, jelas ada masalah besar dalam sistem kesejahteraan. Siapa yang bertanggung jawab? Panglima TNI," tegas Hussein, yang dikutip dari kanal YouTube Yayasan LBH Indonesia.

Ia menilai, argumen yang menyatakan bahwa pelarangan berbisnis harus dicabut karena memprihatinkan kondisi ekonomi prajurit merupakan pendekatan yang keliru. "Logikanya, jika prajurit tidak sejahtera, solusinya bukan dengan membiarkan mereka berbisnis, tetapi dengan memenuhi kebutuhan kesejahteraan mereka," ujar Hussein. Dengan terpenuhinya kebutuhan hidup, prajurit dapat lebih fokus pada tugas utamanya sebagai penjaga kedaulatan negara, tanpa terbebani urusan ekonomi sampingan.

Lebih lanjut, Hussein menyoroti potensi revisi UU TNI ini sebagai pintu masuk bagi elite TNI untuk kembali terlibat dalam dunia bisnis, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Ia menduga, penghapusan larangan berbisnis merupakan dalih bagi segelintir oknum untuk mengejar kepentingan pribadi, bukan demi kesejahteraan prajurit secara menyeluruh. "Ini hanyalah dalih, dalih dari keinginan segelintir elite TNI untuk kembali ke masa Orde Baru, di mana TNI dapat leluasa berbisnis," sindir Hussein.

Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason dari Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum, mengajukan pandangan berbeda. Rodon berpendapat bahwa prajurit, khususnya bintara dan tamtama, tidak seharusnya dilarang berbisnis, mengingat rendahnya uang pensiun yang mereka terima—hanya 70 persen dari gaji pokok—dan minimnya kesempatan kerja setelah pensiun. Rodon mencontohkan mantan anggota TNI yang memilih berjualan bakso setelah pensiun karena minimnya penghasilan pensiun. Ia juga menyoroti penghasilan pensiun jenderal bintang empat yang tergolong rendah, yaitu sekitar Rp 5,2 juta.

Rodon bahkan menyarankan agar naluri berbisnis prajurit dipupuk sejak masa aktif mereka. Menurutnya, hal ini penting untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun dengan penghasilan yang relatif minim. Perbedaan pandangan ini menunjukkan perlunya diskusi yang lebih mendalam dan komprehensif terkait revisi UU TNI, dengan mempertimbangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh lapisan prajurit TNI, serta menghindari potensi penyalahgunaan wewenang.

Revisi UU TNI yang tengah dibahas DPR mencakup berbagai aspek, termasuk usia pensiun tentara, pengisian jabatan sipil, dan larangan berbisnis. Debat publik terkait revisi ini menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan keseimbangan antara modernisasi TNI dan jaminan kesejahteraan prajurit. Perdebatan ini menunjukan pentingnya sebuah diskusi yang komprehensif untuk memastikan revisi ini berdampak positif bagi seluruh pihak dan tidak membuka celah penyalahgunaan wewenang.