Guru Besar UGM Terbukti Lakukan Pelecehan Seksual, Status ASN Tergantung Keputusan Kementerian

Skandal Pelecehan Seksual Guncang UGM: Profesor Farmasi Terbukti Bersalah

Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, baru-baru ini diguncang skandal pelecehan seksual yang melibatkan seorang guru besar dari Fakultas Farmasi, Profesor Edy Meiyanto. Setelah melalui proses investigasi internal yang mendalam, UGM secara resmi telah memberhentikan Edy dari jabatannya sebagai dosen. Namun, statusnya sebagai guru besar dan Aparatur Sipil Negara (ASN) masih menunggu keputusan dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Kasus ini mencuat setelah adanya laporan yang diterima oleh pimpinan Fakultas Farmasi UGM pada tahun 2024, terkait dugaan tindakan pelecehan seksual yang terjadi selama periode 2023. Menindaklanjuti laporan tersebut, rektorat UGM segera membentuk tim investigasi untuk melakukan pemeriksaan terhadap Edy. Berdasarkan hasil investigasi, Komite Pemeriksa menyimpulkan bahwa Edy terbukti melakukan pelecehan seksual dan melanggar kode etik dosen.

Pemecatan Dosen dan Proses Penentuan Status ASN

Keputusan pemecatan Edy sebagai dosen didasarkan pada Pasal 3 ayat (2) Huruf l dan Pasal 3 ayat (2) Huruf m Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023. Andi Sandi, perwakilan UGM, menjelaskan bahwa meskipun UGM telah memberhentikan Edy sebagai dosen, kewenangan untuk mencabut status guru besar dan ASN berada di tangan pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek. "Keputusan akhir ada di Kementerian (Dikti Ristek), karena yang bersangkutan adalah PNS. Karena kan PNS itu diangkat oleh Kementerian, diberhentikan juga oleh Kementerian. PTN tidak punya kewenangan untuk yang PNS," tegasnya.

Kemendikbudristek sendiri telah mendelegasikan pemeriksaan disiplin pegawai kepada pihak kampus sejak Maret 2025. UGM telah membentuk tim pemeriksa internal untuk meminta klarifikasi dari Edy terkait pelanggaran yang dilakukannya. Hasil rekomendasi dari tim internal ini akan diserahkan kepada Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Modus Operandi dan Jumlah Korban

Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa tindakan pelecehan yang dilakukan oleh Profesor Edy tidak hanya terjadi di lingkungan kampus, tetapi juga di kediamannya. Berdasarkan pemeriksaan terhadap saksi dan korban, diketahui bahwa jumlah korban mencapai 13 orang. "Kalau modusnya, kegiatannya itu dilakukan lebih banyak di rumah," ungkap Sandi.

Para korban umumnya mendatangi rumah Edy terkait kegiatan akademik, seperti bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi, serta persiapan lomba. Edy juga memanfaatkan posisinya di Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) dan Laboratorium Biokimia Pascasarjana Bioteknologi Sekolah Pascasarjana UGM untuk melakukan aksinya.

Berikut adalah beberapa modus yang digunakan oleh pelaku:

  • Bimbingan Akademik: Memanfaatkan sesi bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi untuk melakukan pelecehan.
  • Kegiatan di Research Center: Melakukan pelecehan di lingkungan Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC).
  • Persiapan Lomba: Memanfaatkan persiapan proposal lomba sebagai kesempatan untuk melakukan tindakan tidak senonoh.

Selain tindakan fisik, Edy juga terbukti melakukan pelecehan verbal terhadap para korban. Sebelum resmi dipecat, Edy telah dibebastugaskan dari jabatannya sejak 12 Juli 2024 atas keputusan Dekan Farmasi demi kepentingan para korban dan memberikan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika Fakultas Farmasi.

Kasus ini menjadi pukulan telak bagi citra UGM, yang selama ini dikenal sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia. Masyarakat menanti sanksi tegas dari Kemendikbudristek terhadap Profesor Edy Meiyanto, sebagai bentuk komitmen dalam memberantas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.