Hampir 10 Juta Gen Z Nganggur, Menyingkap Sisi Gelap Generasi Z

Gen Z dan Stabilitas Kerja

Fakta menarik lain: Gen Z lebih suka menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak nyaman.

Studi yang dilakukan Randstad Workmonitor pada tahun 2022 mengungkapkan temuan menarik terkait preferensi Generasi Z (Gen Z) di tempat kerja.

Studi tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 41 persen responden Gen Z yang tersebar di wilayah Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika lebih memilih menganggur dibandingkan terjebak dalam pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia.

Data ini menyoroti pergeseran perspektif dalam dunia kerja, khususnya bagi Gen Z. Mereka tampaknya lebih mengutamakan kepuasan kerja dibandingkan dengan jaminan gaji atau stabilitas pekerjaan. 

Dibesarkan di era teknologi, Gen Z terbiasa dengan fleksibilitas dan kontrol. Mereka melihat banyak peluang di luar jalur karier tradisional dan mungkin lebih berani mengambil risiko untuk mengejar pekerjaan yang sesuai dengan minat dan nilai-nilai mereka.

Mereka lebih "berani" dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya yang memilih terpaksa bertahan di tempat kerja meski tidak nyaman, atau minimal mendapatkan pekerjaan yang baru sebelum memutuskan pindah.

Generasi Z dikenal dengan kesadaran mereka akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Mereka tidak ingin terjebak dalam situasi yang mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental mereka demi pekerjaan.

Namun, dari kaca mata lain kita bisa melihat; apakah Gen Z menjadi "generasi tempe", "pencari drama" yang lemah mental, kurang daya juang dan sedikit-sedikit gampang "kena mental"?

Gen Z dan Beban "Sandwich Generation"

Sisi gelap Gen Z lain adalah mereka menjadi bagian dari "sandwich generation". Survei CBNC Indonesia (2021) menyebut 48,7 persen masyarakat produktif, termasuk Gen Z, adalah generasi sandwich.

Di balik cerita healing, keceriaan nonton konser, atau memburu hidden gem, Gen Z memikul tanggung jawab menghidupi diri sendiri, anak (jika sudah ada), dan orangtua dalam waktu bersamaan.

Bagi Gen Z yang tidak siap dan kuat secara finansial maupun mental, tugas tambahan sebagai "caretaker" atau "caregiver" ini akan menjadi tekanan tersendiri.

Bahkan sampai-sampai lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekali lagi lembaga pemerintah, sampai harus mengingatkan agar emak-emak, para orangtua agar tidak melahirkan "sandwich generation" dengan meminta anak menyokong perekonomian orangtua.

“Kalau kita sudah menyekolahkan anak, jangan berharap anak-anak yang nanti menyokong hidupku nanti kalau tua. Kalau iya, dari keinginan anak sendiri, alhamdulillah,” ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi (23/4/2024).

Penyingkapan sisi lain Gen Z yang selama ini nampak glamour sama sekali tidak bermaksud untuk menyudutkan Gen Z. Sebaliknya, menjadi pengingat bagi kita untuk untuk berjalan beriringan seiring sejalan.

Pemerintah perlu berbenah diri dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja agar Gen Z memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

Perlu komitmen Pemerintah mengubah "miss-match" menjadi "link and match" seperti yang digadang-gadang selama ini.

Perusahaan pun perlu beradaptasi dengan ekspektasi Gen Z dengan menyediakan lingkungan kerja fleksibel, suportif, dan berorientasi pada pengembangan diri. Hal yang selama ini mungkin tidak banyak dituntutan generasi sebelumnya.

Sisi lain, Gen Z sendiri pun harus proaktif dan terus meningkatkan kemampuan diri.

Kita meyakini, Gen Z adalah generasi yang penuh potensi. Dengan dukungan tepat, mereka dapat menjadi agen perubahan positif dan berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik. Semoga.

https://money.kompas.com/read/2024/05/22/141233226/hampir-10-juta-gen-z-nganggur-menyingkap-sisi-gelap-generasi-z