Introspeksi dan Ekstrospeksi Peristiwa Boyolali
22-September-24, 00:26PERISTIWA pemukulan relawan Ganjar Pranowo-Mahfud MD oleh oknum TNI perlu menjadi perhatian semua pihak, tidak saja pihak pasangan nomor tiga, pihak relawan, dan pihak TNI, tapi juga semua stakeholder demokrasi Indonesia, mulai dari KPU, Bawaslu, partai-partai politik selain anggota Koalisi Pendukung Ganjar-Mahfud, institusi DPR/MPR, termasuk institusi kepresidenan.
Pasalnya, di masa kampanye seperti saat ini, hal-hal yang terkait dengan kekerasan oleh institusi pemerintah, termasuk TNI, terhadap masyarakat sipil, apapun konteksnya, akan memiliki dampak psikopolitik yang sangat buruk terhadap proses pemilihan itu sendiri.
Dampak ketakutan yang tersimpan di balik peristiwa tersebut sangat berpengaruh terhadap tercapainya pemilihan umum yang fair di satu sisi dan terbentuknya level playing field yang berimbang di sisi lain.
Pertama, peristiwa kekerasan tersebut tidak memiliki konteks hukum yang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, proses hukum harus diterapkan tanpa pandang bulu dan institusi.
Apapun alasan dan motivasi di balik keputusan pemukulan tersebut, yang jelas penyelesaian masalah dengan cara kekerasan adalah pelanggaran hukum positif yang ada. Indonesia adalah negara hukum, bukan negara preman.
"Non-violence leads to the highest ethics, which is the goal of all evolution. Until we stop harming all other living beings, we are still savages", kata Thomas A. Edison.
Etika negara beradab adalah hukum. Jika kekerasan justru didahulukan di atas hukum, maka secara moral kita masih berada di ranah yang liar (savages).
Jadi jalan satu-satunya untuk membereskan masalah kekerasan di Boyolali adalah segera menyelesaikannya di ranah hukum positif, tanpa pandang bulu dan institusi.
Kedua, secara sosial politik, kekerasan yang dilakukan institusi pemerintah terhadap masyarakat sipil adalah pelanggaran HAM.
Apalagi dalam keadaan damai alias tidak dalam keadaan darurat militer, kekerasan militer terhadap masyarakat sipil akan dipertanyakan tidak hanya oleh para pihak di ranah domestik, tapi juga di ranah internasional. Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara akan dipertaruhkan.
Ketiga, kekerasan militer atas masyarakat sipil dalam masa menjelang pemilihan umum berpotensi menyisakan efek ketakutan kepada publik, terutama pemilih, sekalipun motif dan alasan di balik aksi kekerasan tersebut tidak terkait dengan pemilihan umum.
Efeknya boleh jadi tidak bisa diukur dan dikuantifikasi. Namun yang jelas, secara psikopolitik akan sangat destruktif pengaruhnya terhadap psikologi dan perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya nanti pada hari pemilihan.
Publik bisa saja beranggapan bahwa kekerasan tersebut adalah sinyal atas ketidaknetralan aparat di dalam pemilihan kali ini, yang mengandung pesan bahwa jika tidak memilih pilihan yang didukung oleh pemerintah, maka hal yang sama bisa saja menimpa para pemilih.
Meskipun sebenarnya tidak bermakna demikian dan tidak terkait dengan proses kampanye yang sedang berlangsung, tapi toh tidak ada yang benar-benar bisa mengontrol persepsi publik atas suatu kejadian.
Karena di era digital seperti saat ini, semua kejadian bisa berujung dengan makna yang berbeda dari aslinya.