Laporan USTR 2025: Amerika Serikat Soroti Serangkaian Hambatan Perdagangan yang Dihadapi dalam Hubungan Ekonomi dengan Indonesia

Laporan USTR 2025 Ungkap Kekhawatiran AS Terhadap Kebijakan Perdagangan Indonesia

Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) baru-baru ini merilis laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) tahun 2025. Laporan tahunan ini menyoroti berbagai hambatan perdagangan yang dinilai menghambat akses pasar bagi produk dan layanan AS di Indonesia. Temuan ini menimbulkan pertanyaan tentang kelancaran hubungan dagang kedua negara dan efektivitas perjanjian perdagangan yang ada.

USTR mengidentifikasi sejumlah isu utama yang menjadi perhatian, mulai dari tarif impor yang tinggi hingga kebijakan yang mewajibkan kandungan lokal. Berikut adalah rincian beberapa poin penting yang diangkat dalam laporan tersebut:

  • Tarif dan Kebijakan Non-Tarif: Meskipun rata-rata tarif Most-Favored Nation (MFN) Indonesia adalah 8% pada tahun 2023, tarif untuk produk pertanian tertentu dapat melonjak hingga 37,1%. AS juga menyoroti peningkatan tarif bea masuk secara bertahap untuk barang-barang yang bersaing dengan produk lokal, termasuk elektronik, kosmetik, dan obat-obatan. Kebijakan baru mengenai ambang batas pembebasan bea masuk barang kiriman yang diturunkan menjadi 3 dolar AS juga menjadi perhatian.
  • Pembatasan Ekspor Bahan Mentah: Larangan ekspor bijih nikel, bauksit, dan tembaga yang diterapkan Indonesia menjadi sorotan utama. AS berpendapat bahwa kebijakan ini mengganggu rantai pasok global dan melanggar komitmen Indonesia terhadap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Keputusan panel WTO tahun 2022 yang menyatakan bahwa larangan ekspor nikel tidak sesuai dengan kewajiban WTO semakin memperkuat argumen ini.
  • Hambatan Investasi Asing: Walaupun Daftar Negatif Investasi (DNI) telah dicabut, AS mencatat bahwa banyak sektor strategis seperti pos, media, perbankan, dan transportasi masih membatasi kepemilikan asing. Persyaratan tambahan dari kementerian terkait untuk sektor yang terbuka 100% juga menjadi perhatian. Selain itu, kewajiban divestasi di sektor pertambangan yang mengharuskan perusahaan asing untuk melepas 51% kepemilikannya kepada pemilik Indonesia dalam jangka waktu tertentu dipandang sebagai hambatan investasi.
  • Kewajiban Kandungan Lokal: Persyaratan kandungan lokal minimal pada perangkat 4G, TV digital, perangkat jaringan, dan elektronik lainnya dinilai membatasi kemampuan perusahaan AS untuk menjual produk-produk telekomunikasi dan elektronik di pasar Indonesia. USTR menyoroti bahwa persyaratan konten lokal membatasi kemampuan perusahaan AS untuk menjual berbagai produk telekomunikasi dan elektronik di pasar Indonesia.
  • Kebijakan Sertifikasi Halal: Implementasi sertifikasi halal wajib yang dinilai tidak transparan dan memberatkan eksportir asing menjadi salah satu poin krusial. AS mengkhawatirkan bahwa beberapa peraturan ditetapkan tanpa pemberitahuan yang memadai kepada WTO, yang melanggar ketentuan organisasi tersebut.
  • Hambatan Impor Digital: Meskipun bea masuk untuk produk digital adalah nol persen, AS khawatir tentang potensi kesulitan bagi pelaku usaha akibat persyaratan administrasi baru untuk produk digital seperti software, video, dan audio. Pemberlakuan bea masuk apa pun terhadap produk digital berdasarkan peraturan ini akan menimbulkan kekhawatiran serius.
  • Praktik Bea Cukai dan Verifikasi: USTR menyoroti sistem referensi harga dan verifikasi pra-pengapalan sebagai kendala utama. Pejabat bea cukai Indonesia sering kali mengandalkan jadwal harga referensi daripada menggunakan nilai transaksi, yang dinilai bertentangan dengan perjanjian WTO.
  • Subsidi dan Intervensi Negara: Indonesia belum melaporkan program subsidi secara lengkap ke WTO sejak 2019. Pemerintah AS menyebut berbagai insentif fiskal dan nonfiskal tetap diberikan untuk ekspor dan manufaktur di kawasan ekonomi khusus. Amerika Serikat akan terus mendesak Indonesia untuk menyerahkan notifikasi WTO untuk semua program subsidinya.
  • Pengadaan Pemerintah yang Diskriminatif: Indonesia belum bergabung dengan Government Procurement Agreement WTO, namun tetap memberi preferensi bagi produk dan jasa lokal dalam pengadaan pemerintah. Indonesia memberikan preferensi khusus untuk mendorong sumber daya dalam negeri, termasuk syarat kandungan lokal minimal 40 persen.
  • Perlindungan Kekayaan Intelektual: Indonesia masih masuk dalam Priority Watch List dalam laporan Special 301 karena lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta dan merek dagang. Pasar Mangga Dua bahkan disebut dalam daftar pasar paling terkenal dalam pembajakan. Kekhawatiran yang signifikan masih ada, terutama soal pembajakan daring dan fisik.

Laporan USTR ini memberikan gambaran komprehensif tentang tantangan yang dihadapi perusahaan-perusahaan AS dalam berdagang dengan Indonesia. Temuan-temuan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah kedua negara untuk mencari solusi yang konstruktif dan meningkatkan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan.

Implikasi dari laporan ini bisa sangat luas, mulai dari potensi sengketa dagang di WTO hingga perubahan dalam kebijakan investasi dan perdagangan Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu menanggapi kekhawatiran yang diangkat oleh AS secara serius dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi hambatan-hambatan perdagangan yang ada. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan menarik investasi asing yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.