CORE Indonesia Ingatkan Pemerintah Soal Produk Sensitif dalam Negosiasi Dagang dengan AS

CORE Indonesia: Jangan Sampai Tarif Impor Produk Strategis Jadi Nol Persen dalam Perundingan dengan AS

Dalam menghadapi perundingan dagang dengan Amerika Serikat (AS), Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati, terutama dalam menentukan tarif impor untuk produk-produk yang masuk dalam kategori sensitive list. Peneliti CORE Indonesia, Sahara, menekankan pentingnya mempertahankan tarif impor untuk produk-produk strategis demi melindungi kepentingan nasional.

"Ketika kita negosiasi tarif, itu ada produk namanya sensitive list. Kalau sensitive list jangan dinolkan," tegas Sahara, menyoroti potensi kerugian yang bisa timbul jika produk-produk vital dibebaskan dari tarif impor. Sensitive list umumnya mencakup komoditas yang memiliki nilai strategis bagi suatu negara, seperti ketahanan pangan, keamanan, atau stabilitas ekonomi. Contohnya beras, minuman beralkohol, dan senjata.

Ancaman Ketahanan Pangan dan Perlindungan Petani Lokal

Sahara menjelaskan bahwa jika tarif impor beras, misalnya, dibuat nol persen, hal itu bisa mengancam ketahanan pangan nasional dan merugikan petani lokal. Banjirnya beras impor dengan harga yang lebih murah akan membuat petani lokal sulit bersaing dan berpotensi gulung tikar. Kondisi ini tentu akan berdampak buruk pada sektor pertanian dan ekonomi pedesaan.

"Jadi, ada produk yang kita tawarkan tetap jadi sensitive list buat Indonesia, tetapi ada produk yang bisa kita negosiasi," ujarnya, mengisyaratkan perlunya kehati-hatian dalam menentukan produk-produk mana yang bisa dinegosiasikan tarifnya.

Sorotan Terhadap Hambatan Non-Tarif (NTMs)

Selain masalah tarif, Sahara juga menyoroti isu hambatan non-tarif atau non-tariff measures (NTMs) yang menjadi perhatian utama Presiden AS saat itu, Donald Trump. Trump menilai bahwa Indonesia menerapkan NTMs yang tidak adil terhadap produk-produk AS.

Oleh karena itu, Sahara menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk memetakan jenis komoditas serta regulasi yang dianggap menghambat masuknya produk AS. Harmonisasi kebijakan di tiap komoditas dinilai penting, meskipun rumit karena setiap sektor memiliki aturan yang berbeda.

"Regulasi tersebut perlu diharmonisasi untuk masing-masing komoditas. Dan ini tidak mudah untuk masing-masing komoditas yang kita impor. Akan beda-beda kebijakannya, regulasinya, itu harus dilihat," jelasnya.

Neraca Jasa, Bukan Hanya Neraca Barang

Trump juga kerap menyinggung defisit perdagangan barang yang dialami AS dengan Indonesia. Menanggapi hal ini, Sahara menyarankan agar Indonesia tidak hanya fokus pada neraca barang, tetapi juga memperhatikan neraca jasa. Ia mencontohkan, AS telah banyak mengekspor layanan digital ke Indonesia, mulai dari perangkat lunak seperti Adobe, layanan cloud, hiburan digital, game, hingga jasa logistik.

"Saya tidak tahu datanya seperti apa, Indonesia harus punya data perdagangan jasa antara Indonesia dengan Amerika. Jangan-jangan, kalau digabungkan perdagangan barang dengan jasa, jangan-jangan Indonesia itu defisit. Cuma memang tidak ada datanya saya sudah berusaha untuk mencari," kata Sahara.

Langkah Pemerintah Menjelang Perundingan

Sebelumnya, pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah paket negosiasi menjelang perundingan dagang dengan AS di Washington D.C. Paket tersebut meliputi usulan revitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), deregulasi NTMs melalui relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor teknologi informasi, serta insentif fiskal dan nonfiskal untuk memperkuat daya saing ekspor Indonesia.

Pemerintah juga menggandeng negara-negara ASEAN untuk berunding bersama dalam forum ASEAN Economic Ministers (AEM) Special Meeting pada 10 April 2025.

Sebagai informasi tambahan, Trump sebelumnya mengumumkan kenaikan tarif terhadap banyak negara pada 2 April 2025. Indonesia masuk urutan kedelapan, dengan tarif sebesar 32 persen. Filipina dikenai 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen. Pada 9 April waktu AS, Trump menunda penerapan tarif hingga 90 hari bagi beberapa negara, kecuali China yang dikenai bea masuk 125 persen. Sehari kemudian, tarif impor ke China dinaikkan lagi menjadi 145 persen, yang disebut sebagai batas bawah dan masih bisa meningkat.