Krisis Pangan Mengancam Jutaan Pengungsi Rohingya di Bangladesh

Krisis Pangan Mengancam Jutaan Pengungsi Rohingya di Bangladesh

Program Pangan Dunia (WFP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan pengurangan drastis bantuan makanan untuk hampir satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh. Pemotongan yang akan berlaku mulai bulan depan ini disebabkan oleh defisit pendanaan yang signifikan, memaksa WFP untuk mengurangi jatah makanan per kapita dari US$ 12,50 menjadi hanya US$ 6 per bulan. Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan para pengungsi yang telah hidup dalam kondisi memprihatinkan selama bertahun-tahun.

Pengurangan bantuan ini berdampak signifikan terhadap kehidupan para pengungsi. Dengan jatah yang menyusut hingga lebih dari separuh, mereka akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pangan dasar. Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar pengungsi Rohingya tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat dan tidak layak huni di Cox's Bazar, Bangladesh. Mereka tidak memiliki akses untuk bekerja dan sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan internasional.

Menurut surat resmi WFP yang dirilis pekan lalu, upaya penghematan internal telah dilakukan, namun tetap tidak cukup untuk menutupi kekurangan dana yang besar. Situasi ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi lembaga-lembaga kemanusiaan dalam memberikan bantuan yang memadai di tengah keterbatasan pendanaan global. Perwakilan Badan Pengungsi Bangladesh, Md Shamsud Douza, menyatakan akan segera mengadakan pertemuan dengan para pemimpin untuk membahas dampak kebijakan ini dan mencari solusi. Pertemuan ini direncanakan untuk pekan depan, beberapa hari sebelum kunjungan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, ke kamp-kamp pengungsi tersebut.

Kunjungan Guterres, yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, akan memberikan kesempatan penting untuk menyoroti krisis kemanusiaan yang tengah dialami oleh para pengungsi Rohingya. Kondisi mereka semakin memburuk akibat pemangkasan bantuan ini. Banyak di antara mereka yang sudah menderita malnutrisi, dan pengurangan jatah makanan akan semakin memperparah situasi ini, meningkatkan risiko penyakit dan kematian, terutama di kalangan anak-anak dan lansia. Situasi ini telah mendorong banyak pengungsi untuk mengambil risiko besar dengan menempuh perjalanan laut yang berbahaya menuju negara-negara lain demi mencari kehidupan yang lebih baik. Insiden pelarian massal melalui jalur laut, seperti yang terjadi pada Januari lalu di mana lebih dari 250 Rohingya berhasil mencapai Indonesia, menjadi bukti nyata keputusasaan yang dihadapi oleh para pengungsi ini.

Krisis ini juga menggarisbawahi situasi politik yang kompleks yang menyebabkan krisis pengungsi ini. Pengusiran paksa dan kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar pada tahun 2017 telah memaksa sekitar 750.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Mereka membawa kisah-kisah mengerikan tentang pembantaian, pemerkosaan, dan pembakaran desa-desa mereka. Meskipun Bangladesh telah memberikan tempat perlindungan, peluang bagi Rohingya untuk kembali ke Myanmar atau direlokasi ke negara lain tetap sangat kecil, sehingga membuat mereka terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketidakpastian yang panjang.

Oleh karena itu, dibutuhkan upaya kolektif dan peningkatan pendanaan yang signifikan dari komunitas internasional untuk mengatasi krisis kemanusiaan ini. Selain bantuan makanan, dukungan kesehatan, pendidikan, dan peluang untuk pembangunan ekonomi sangat penting untuk meningkatkan kehidupan para pengungsi Rohingya dan memberikan mereka harapan untuk masa depan yang lebih baik. Tanpa komitmen global yang kuat, masa depan ratusan ribu pengungsi Rohingya akan tetap terancam.