Gelombang Kebangkrutan Melanda Jepang: Lebih dari 10.000 Perusahaan Gulung Tikar di Tahun Fiskal 2024 Akibat Krisis Tenaga Kerja dan Inflasi
Jepang Dilanda Gelombang Kebangkrutan Terburuk dalam Satu Dekade Terakhir
Tahun fiskal 2024 menjadi periode yang penuh tantangan bagi dunia usaha di Jepang. Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 10.000 perusahaan terpaksa gulung tikar, menandai rekor kebangkrutan tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Kombinasi antara kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas dan lonjakan harga barang telah memukul keras terutama usaha kecil dan menengah (UKM), yang menjadi tulang punggung perekonomian Jepang.
Menurut laporan yang dirilis oleh Tokyo Shoko Research, gelombang kebangkrutan ini didominasi oleh sektor jasa, dengan 3.398 kasus atau meningkat 12,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor konstruksi juga terpukul keras, mencatatkan 1.943 kasus kebangkrutan, naik 9,3%. Data ini mengindikasikan bahwa tekanan ekonomi tidak hanya dirasakan oleh satu sektor industri saja, melainkan meluas ke berbagai bidang usaha.
Faktor-Faktor Pemicu Kebangkrutan
Beberapa faktor utama yang berkontribusi pada tingginya angka kebangkrutan di Jepang antara lain:
- Krisis Tenaga Kerja: Jepang menghadapi masalah demografi yang serius dengan populasi yang menua dan tingkat kelahiran yang rendah. Hal ini menyebabkan kekurangan tenaga kerja yang signifikan di berbagai sektor, terutama tenaga kerja terampil. Perusahaan kesulitan mencari dan mempertahankan karyawan, yang berdampak pada produktivitas dan efisiensi operasional.
- Inflasi: Kenaikan harga energi, bahan baku, dan barang-barang lainnya telah meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan. Sementara itu, daya beli konsumen belum sepenuhnya pulih, sehingga perusahaan kesulitan untuk menaikkan harga jual produk mereka untuk mengkompensasi kenaikan biaya.
- Berakhirnya Kebijakan Penundaan Pajak: Selama pandemi Covid-19, pemerintah Jepang memberlakukan kebijakan penundaan pajak untuk membantu perusahaan mengatasi kesulitan keuangan. Namun, kebijakan ini telah berakhir, dan perusahaan kini harus membayar kembali pajak yang tertunda, yang semakin membebani keuangan mereka.
- Dominasi UKM dalam Kebangkrutan: Sebagian besar kebangkrutan, yaitu sekitar 89,4%, terjadi pada perusahaan dengan kurang dari 10 karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa UKM adalah yang paling rentan terhadap guncangan ekonomi.
Dampak dan Prospek ke Depan
Gelombang kebangkrutan ini dapat berdampak negatif pada perekonomian Jepang secara keseluruhan. Hilangnya lapangan kerja dan penurunan investasi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Jepang perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah krisis tenaga kerja dan inflasi, serta memberikan dukungan kepada UKM agar mereka dapat bertahan dan berkembang.
Total utang yang terlibat dalam kasus kebangkrutan ini mencapai 2,37 triliun yen, meskipun angka ini menunjukkan penurunan sebesar 3,6% dari tahun sebelumnya. Namun, dengan jumlah kasus yang terus meningkat, kekhawatiran akan stabilitas keuangan perusahaan-perusahaan di Jepang semakin meningkat.
Para analis ekonomi memperkirakan bahwa tantangan ekonomi akan terus berlanjut di Jepang dalam beberapa tahun mendatang. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan perlu beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis dan mencari cara untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing mereka. Pemerintah juga perlu memainkan peran aktif dalam menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif bagi pertumbuhan dan inovasi.