Satgas PHK Nasional: Lebih dari Sekadar Respons, Menuju Ketahanan Ketenagakerjaan Strategis di Era Perang Dagang

Satgas PHK Nasional: Lebih dari Sekadar Respons, Menuju Ketahanan Ketenagakerjaan Strategis di Era Perang Dagang

Dalam pusaran ekonomi global yang semakin kompleks dan sarat ketidakpastian, Indonesia tidak lagi bisa berpuas diri hanya menjadi penonton pasif di tengah perang dagang dan disrupsi geopolitik yang terus bergulir. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang melanda berbagai sektor industri bukan semata-mata fluktuasi ekonomi sesaat, melainkan sebuah gejala struktural yang mencerminkan betapa rentannya fondasi ekonomi nasional terhadap tekanan eksternal dan kelemahan internal yang mendalam. Ini bukan hanya krisis di pasar tenaga kerja, melainkan ujian berat terhadap ketahanan ekonomi bangsa.

Sejak awal tahun 2024, tanda-tanda kerentanan ekonomi nasional semakin terasa nyata. Lebih dari 257.000 pekerja tercatat tidak lagi menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, di mana lebih dari 154.000 di antaranya mengajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT). Angka ini bukan sekadar data administratif, melainkan indikator kuat bahwa mereka benar-benar kehilangan pekerjaan, bukan hanya berpindah kerja. Memasuki tahun 2025, hingga 10 Maret, tren serupa terus berlanjut: hampir 74.000 pekerja terkena PHK, dan lebih dari 40.000 mengajukan klaim JHT. Di balik setiap angka, tersembunyi kisah-kisah pilu tentang keluarga yang kehilangan sumber pendapatan, anak-anak yang masa depannya terancam, dan komunitas yang kehilangan stabilitas ekonomi.

Berbagai studi dan analisis ekonomi menegaskan bahwa fenomena PHK massal ini bukanlah kejadian sporadis atau terisolasi. Ia adalah hasil dari interaksi kompleks antara dinamika struktural di dalam negeri dan tekanan eksternal global yang terus memburuk. Beberapa faktor pemicunya antara lain:

  • Penurunan Permintaan Global: Perlambatan ekonomi dunia telah mengurangi kapasitas ekspor dan produksi industri dalam negeri.
  • Kenaikan Biaya Produksi: Biaya bahan baku dan tarif energi yang terus meningkat menggerus efisiensi pelaku industri.
  • Serbuan Impor Murah: Gelombang impor murah, terutama dari negara-negara yang menerapkan subsidi agresif atau kebijakan dumping, menekan daya saing industri nasional.
  • Regulasi yang Kurang Berpihak: Perubahan regulasi yang belum sepenuhnya mendukung perlindungan sektor manufaktur semakin memperlemah posisi industri dalam negeri.
  • Otomasi dan Digitalisasi: Percepatan otomasi dan digitalisasi membuat banyak pekerjaan manusia digantikan oleh mesin dan algoritma, memaksa perusahaan melakukan rasionalisasi tenaga kerja.

Kumpulan tekanan ini menciptakan lanskap ketenagakerjaan yang semakin rapuh dan rentan, terutama bagi pekerja di sektor informal dan sektor padat karya. Tanpa intervensi negara yang tegas, terarah, dan sistemik, gelombang PHK ini berpotensi berkembang menjadi krisis sosial-ekonomi yang lebih luas, menambah beban pada jaring pengaman sosial, dan memperbesar risiko ketimpangan serta gejolak sosial.

Salah satu faktor krusial yang tak boleh diabaikan adalah kurangnya proteksi yang memadai terhadap industri dalam negeri. Di tengah serbuan barang impor murah dan ketidakpastian geopolitik, industri Indonesia berdiri tanpa tameng, dan para pekerjanya menjadi korban pertama. Kebijakan tarif tinggi yang ditempuh Amerika Serikat menjadi titik balik dari era globalisasi yang sebelumnya diagung-agungkan. Dunia mulai berubah haluan: dari keterbukaan absolut menuju perlindungan nasional yang lebih strategis. Negara-negara besar seperti AS, India, dan China tak segan menyesuaikan kebijakan demi menyelamatkan industrinya. Indonesia pun tak boleh ragu untuk melakukan hal serupa.

Presiden Prabowo Subianto telah memberikan sinyal positif atas usulan pembentukan Satgas PHK. Ini adalah langkah awal yang strategis dan perlu segera dipercepat pelaksanaannya. Namun, Satgas ini tidak cukup hanya menjadi posko pencatat korban PHK. Ia harus bertransformasi menjadi komando cepat tanggap, mengintegrasikan data, merancang pelatihan ulang, membuka jalur rekrutmen baru, dan menghubungkan pekerja terdampak dengan sektor-sektor yang masih tumbuh. Dalam situasi seperti ini, Satgas PHK perlu dipandang sebagai instrumen pertahanan ekonomi nasional.

Indonesia memerlukan satuan tugas yang tidak hanya bekerja setelah badai datang, tetapi juga menjadi radar yang mampu membaca arah angin ekonomi global, terutama ketika guncangan perdagangan dan proteksionisme luar negeri mengancam kelangsungan industri dan pekerjaan di dalam negeri. Lebih dari itu, keberadaan Satgas harus dibarengi keberanian politik untuk melindungi industri dalam negeri. Indonesia harus belajar dari pendekatan proteksionis Donald Trump, yang meski kontroversial, terbukti sukses mengembalikan sentra-sentra industri AS ke peta ekonomi nasional. Kunci keberhasilannya sederhana: industri yang kuat melahirkan pekerja yang berdaulat, dan pekerja yang berdaulat menjamin stabilitas ekonomi nasional.

Proteksi industri bukanlah bentuk anti-globalisasi, melainkan wujud kecerdasan nasional dalam membaca situasi. Indonesia harus tegas membentengi industri strategis, seperti tekstil, elektronik, pertanian modern, dan manufaktur padat karya, dari tekanan luar yang tidak adil. Kebijakan impor harus disesuaikan, pemberian insentif harus ditingkatkan, dan birokrasi yang menghambat investasi dalam negeri harus dipangkas habis. Kebijakan ketenagakerjaan juga harus diperbarui. Sistem kerja kontrak dan outsourcing yang longgar selama ini menjadi titik lemah yang mempercepat PHK. Negara wajib hadir melindungi para pekerja yang loyal, bukan hanya dengan menjamin pesangon, tetapi juga memberikan arah baru setelah kehilangan pekerjaan. Tidak boleh ada lagi perusahaan yang bisa dengan mudah melepas ribuan buruh tanpa skema transisi yang manusiawi.

Satgas PHK harus menjadi simpul kolaborasi antarkementerian, pemerintah daerah, dunia usaha, dan serikat pekerja. Transparansi data PHK, peta kebutuhan tenaga kerja nasional, serta konektivitas antara pelatihan dan penempatan kerja harus menjadi sistem terpadu. Ini adalah medan krisis yang memerlukan solusi cerdas dan sistematis. Kita tidak sedang menghadapi badai ekonomi biasa. Ini adalah ujian terhadap keberanian dan visi bangsa.

Bila Indonesia ingin benar-benar menjadi kekuatan ekonomi dunia, maka jalan satu-satunya adalah membangun ketahanan industri dan keberpihakan kepada pekerja. Negara tidak boleh lagi berdiri netral ketika rakyatnya kehilangan pekerjaan. Kini saatnya kita mengubah paradigma, dari negara yang hanya menyerap gelombang menjadi negara yang menciptakan gelombang, dari bangsa yang mengikuti arus menjadi bangsa yang membentuk arus, dan dari pemerintah yang bereaksi menjadi pemerintah yang memimpin. Dalam badai PHK massal ini, kehadiran negara bukan pilihan, melainkan keharusan.

Reformulasi Satgas PHK: Menuju SKKN

Gelombang PHK yang menghantam sektor industri padat karya pada awal 2024 bukan sekadar deretan statistik suram, melainkan alarm sistemik yang menandakan terganggunya stabilitas sosial-ekonomi nasional di tengah tekanan global yang semakin kompleks: melemahnya pasar ekspor, membanjirnya produk impor murah, serta biaya produksi dalam negeri yang semakin tidak kompetitif. Selama ini, respons negara cenderung bersifat kuratif dan berjangka pendek. Fokus utama diarahkan pada mereka yang telah terdampak, melalui program pelatihan ulang, perlindungan sosial, dan bantuan penempatan kerja. Langkah-langkah ini memang penting, tetapi tidak cukup. Negara tidak bisa terus berperan sebagai pemadam kebakaran yang baru bergerak setelah api membesar. Diperlukan pendekatan yang tidak hanya responsif, tetapi juga antisipatif dan strategis.

PHK bukan semata urusan hubungan industrial, melainkan sinyal bahwa fondasi ekonomi nasional rentan terhadap guncangan eksternal. PHK adalah gejala dari lemahnya sistem perlindungan terhadap sektor produktif, dan jika dibiarkan, dapat menjadi titik awal dari krisis yang lebih besar dan mengancam ketahanan nasional. Dalam konteks inilah, konsep "Satgas PHK" perlu ditransformasikan menjadi sesuatu yang jauh lebih strategis. Yang dibutuhkan bukan sekadar satuan tugas reaktif, melainkan Satuan Tugas Ketahanan Ketenagakerjaan Nasional (SKKN). Ini adalah arsitektur baru dalam pertahanan ekonomi negara.

SKKN dirancang sebagai instrumen strategis negara untuk melakukan deteksi dini, mitigasi risiko, dan perumusan kebijakan antisipatif terhadap ancaman ketenagakerjaan yang bersumber dari disrupsi global, dinamika perdagangan internasional, serta relokasi industri akibat konflik geopolitik dan perang dagang. Satgas ini tidak didirikan untuk sekadar mencatat jumlah korban, tetapi untuk mencegah lahirnya korban baru.

SKKN harus memiliki kapasitas untuk membaca pola, memetakan sektor-sektor yang rentan, merancang intervensi fiskal, memperkuat daya saing industri dalam negeri, dan membangun jaringan kolaboratif lintas aktor: pemerintah, dunia usaha, akademisi, serikat pekerja, dan masyarakat sipil. Ketegangan geopolitik global, terutama eskalasi konflik dagang antara Amerika Serikat dan China, telah mengganggu rantai pasok dunia, memicu relokasi industri, dan menekan kapasitas produksi negara berkembang seperti Indonesia. Tanpa sistem deteksi dan adaptasi yang tangguh, konflik yang terjadi ribuan kilometer jauhnya dapat berdampak langsung terhadap nasib jutaan pekerja lokal.

Berbeda dari model-model tradisional yang bersifat reaktif dan baru bergerak saat krisis terjadi, SKKN dirancang sebagai sistem pertahanan aktif. Memang, beberapa negara telah memiliki inisiatif serupa, seperti Emergency Job Support Task Force di Korea Selatan, sistem Kurzarbeit di Jerman, dan Rapid Response Teams di Amerika Serikat, namun semuanya bersifat responsif, bukan preventif. Di sinilah SKKN menjadi krusial. Gagasan ini tidak hanya menawarkan alternatif terhadap model Satgas PHK yang konvensional, tetapi juga menempatkan Indonesia sebagai pelopor sistem ketahanan ketenagakerjaan berbasis antisipasi geopolitik global.

SKKN bukan sekadar lembaga administratif baru, melainkan pusat gravitasi kebijakan ketenagakerjaan nasional yang mampu menerjemahkan sinyal global menjadi kebijakan domestik yang adaptif dan progresif. Dalam kerangka kerjanya, penguatan pasar domestik, pemberdayaan sektor produktif nasional, dan perlindungan terhadap industri strategis harus menjadi agenda utama. PHK hanyalah gejala. Akar persoalan terletak pada ketergantungan struktural terhadap pasar luar negeri, lambatnya reformasi industri nasional, serta belum adanya sistem perlindungan ekonomi berbasis ketenagakerjaan yang terintegrasi dengan kebijakan makro. Dalam dunia yang bergerak cepat dan dipenuhi ketidakpastian, hanya negara yang memiliki sistem peringatan dini dan kapasitas respons strategis yang akan mampu bertahan.

SKKN hadir bukan hanya untuk menjaga keberlangsungan dunia kerja hari ini, tetapi juga untuk memastikan generasi mendatang memiliki tempat yang layak dalam lanskap ketenagakerjaan global. Indonesia tidak bisa terus menunggu badai berikutnya meluluhlantakkan fondasi industrinya. Saatnya bertindak sekarang. Pembentukan Satuan Tugas Ketahanan Ketenagakerjaan Nasional adalah fondasi awal, dan keberanian politik untuk mewujudkannya adalah syarat utama untuk menjaga masa depan tenaga kerja nasional.