Skandal Pemerkosaan di RSHS: Komisi IX DPR RI Tuntut Pencabutan Gelar Dokter Pelaku dan Evaluasi Sistemik

DPR RI Geram: Desakan Pencabutan Gelar Dokter Pemerkosa di RSHS Menguat

Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara tegas mendesak pencabutan gelar dokter terhadap Priguna Anugerah, seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dari Universitas Padjadjaran (Unpad), yang terlibat dalam kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap etika profesi dan mencoreng citra dunia medis.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menyampaikan bahwa perbuatan keji tersebut tidak dapat ditoleransi dan menuntut tindakan tegas dari pihak berwenang. "Ini adalah pelanggaran serius terhadap kepercayaan publik dan prinsip-prinsip dasar pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan beretika," ujarnya. Ia menambahkan bahwa kasus ini menjadi tamparan keras bagi sistem pengawasan dan pendidikan tenaga kesehatan di rumah sakit pendidikan.

Pelanggaran UU Kesehatan dan Kegagalan Sistemik

Komisi IX menyoroti sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang dilanggar oleh pelaku. Pasal-pasal tersebut menjamin hak pasien atas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan manusiawi, serta kewajiban tenaga medis untuk menghormati hak pasien dan menjunjung tinggi etika profesi. Selain itu, terdapat pasal yang mengatur tanggung jawab institusi pendidikan dan rumah sakit dalam membina tenaga medis secara profesional dan etis.

Nihayatul Wafiroh menekankan bahwa insiden ini bukan hanya kesalahan individu, tetapi juga indikasi adanya kegagalan sistemik dalam pengawasan, pendidikan, dan perlindungan pasien di rumah sakit pendidikan. Komisi IX mendesak Kementerian Kesehatan dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh dan memberikan sanksi disipliner yang setimpal kepada semua pihak yang terlibat.

Tuntutan Evaluasi Sistemik dan Perlindungan Korban

Selain pencabutan gelar dokter, Komisi IX juga menuntut langkah-langkah konkret untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan. Beberapa poin penting yang menjadi perhatian adalah:

  • Evaluasi Sistem Pengawasan: Memperketat pengawasan terhadap tenaga medis, khususnya peserta PPDS, di rumah sakit pendidikan.
  • Peningkatan Kualitas Pendidikan Etika: Memastikan bahwa kurikulum pendidikan kedokteran memasukkan materi etika profesi yang komprehensif dan relevan.
  • Penguatan Sistem Pelaporan: Membangun sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses bagi pasien dan keluarga pasien yang mengalami tindakan tidak profesional atau pelanggaran etika.
  • Perlindungan Korban: Memberikan pendampingan psikologis, hukum, dan kesehatan yang memadai bagi korban sesuai dengan amanat UU Kesehatan.

Komisi IX juga mendesak Unpad dan RSHS untuk memperkuat sistem pelaporan, pengawasan, dan perlindungan korban. Kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan perbaikan menyeluruh dalam sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan di Indonesia, demi menjaga kepercayaan publik dan memberikan perlindungan yang optimal bagi pasien.

Kronologi Kejadian dan Tindakan RSHS

Kasus ini bermula ketika FH (21), seorang wanita yang tengah menunggu ayahnya yang dirawat di RSHS, didekati oleh dokter Priguna dengan alasan akan melakukan pemeriksaan kecocokan darah (crossmatch). Korban kemudian dibawa ke lantai 7 Gedung MCHC RSHS, di mana pelaku menyuntikkan cairan yang diduga obat bius hingga korban tidak sadarkan diri. Setelah sadar, korban merasakan sakit dan melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Hasil visum menunjukkan adanya bukti-bukti kekerasan seksual.

Pihak RSHS sendiri telah mengambil tindakan tegas dengan melarang Priguna untuk praktik di rumah sakit tersebut. Direktur Utama RSHS, Rachim Dinata Marsidi, menyatakan bahwa pelaku telah dikeluarkan dari rumah sakit dan tidak diperbolehkan lagi melakukan praktik di sana.

Kementerian Kesehatan juga telah meminta KKI untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dokter Priguna, sebagai bentuk sanksi atas perbuatan yang melanggar etika profesi dan hukum.