Evaluasi Mendalam UU Polri Mendesak Sebelum Revisi Digulirkan
Pakar keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyerukan agar pemerintah melakukan evaluasi komprehensif terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia sebelum melangkah lebih jauh dalam proses revisi. Seruan ini muncul di tengah diskusi publik mengenai rencana revisi UU Polri yang diinisiasi oleh DPR.
Menurut Bambang, evaluasi menyeluruh terhadap UU yang berlaku saat ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai area-area yang memerlukan perbaikan atau penyesuaian. Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa revisi yang dilakukan benar-benar menjawab kebutuhan dan tantangan yang dihadapi Polri di era modern. Evaluasi tersebut juga untuk memastikan bahwa penambahan kewenangan terhadap Polri tidak menimbulkan masalah baru.
"Sebelum kita berbicara tentang penambahan kewenangan, sangat penting untuk mengevaluasi UU Nomor 2 Tahun 2002. Kita perlu mengidentifikasi area mana yang perlu diperbaiki, bagian mana yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman," kata Bambang dalam wawancara pada Kamis (10/4/2025).
Bambang menyoroti beberapa kasus yang menunjukkan keterbatasan Polri dalam menghadapi tantangan keamanan yang kompleks. Ia memberikan contoh kasus-kasus terkait industrial security, di mana Polri dinilai kurang memiliki kompetensi yang memadai. Tragedi Kanjuruhan dan kasus pemerasan pada konser DWP 2024 juga menjadi sorotan sebagai indikasi adanya masalah yang lebih mendalam.
Menurutnya, penambahan kewenangan tanpa mengatasi akar permasalahan yang ada justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. "Penambahan kewenangan di bidang-bidang yang bukan kompetensi inti kepolisian berpotensi memunculkan konflik kepentingan," ujarnya.
Selain itu, Bambang juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap implementasi UU Nomor 2 Tahun 2002, terutama terkait aspek pertanggungjawaban anggaran Polri. Ia menyoroti tidak adanya pasal yang secara spesifik mengatur pengelolaan anggaran Polri, yang berpotensi membuka celah terjadinya penyelewengan dan pendanaan non-APBN yang sulit diawasi.
"Terkait materi UU 2/2002, memang ada beberapa pasal yang perlu dievaluasi dan ditambahkan karena tidak tercantum seperti persoalan budgeting," kata Bambang.
- Potensi Masalah Anggaran: Ketiadaan pasal terkait anggaran berpotensi membuka celah pendanaan non-APBN yang tidak dapat diawasi oleh DPR maupun BPK.
- Konflik Kepentingan: Hal ini dapat memunculkan celah konflik kepentingan bila anggaran diperoleh dari pihak-pihak yang bermasalah.
Sebagai informasi, RUU Polri telah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada Selasa (28/5/2024). Salah satu poin revisi yang mencuat adalah perpanjangan batas usia pensiun anggota Polri hingga dua tahun. Namun, Komisi III DPR menegaskan bahwa pembahasan RUU Polri belum menjadi prioritas utama, karena saat ini mereka masih fokus pada revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Saya sampai hari ini di Komisi III belum ada (bahas RUU Polri). Kita masih fokus di KUHAP," ujar anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan, pada Senin (24/3/2025). Pernyataan ini mengindikasikan bahwa proses revisi UU Polri masih dalam tahap awal dan memerlukan pembahasan yang lebih mendalam sebelum dapat dilanjutkan.
Dengan demikian, seruan untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap UU Polri sebelum revisi merupakan langkah yang krusial. Evaluasi ini akan membantu memastikan bahwa revisi yang dilakukan benar-benar efektif, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.