Perlindungan Konsumen di Era E-Commerce Global: Tantangan Klausul Hukum Asing

Perlindungan Konsumen di Era E-Commerce Global: Tantangan Klausul Hukum Asing

Era digital telah membawa kita ke dalam dunia perdagangan tanpa batas, di mana konsumen dapat dengan mudah membeli barang dari berbagai negara melalui e-commerce. Namun, kemudahan ini juga memunculkan permasalahan terkait perlindungan hukum konsumen, terutama dalam transaksi lintas negara. Bagaimana kontrak e-commerce internasional dapat menjamin hak-hak konsumen Indonesia ketika terjadi sengketa?

Problematika Klausul Hukum Asing

Seringkali, konsumen Indonesia yang berbelanja di platform e-commerce internasional terjebak dalam kerugian akibat barang palsu, rusak, tidak sesuai pesanan, atau bahkan tidak terkirim. Ketika ingin mengajukan keluhan atau tuntutan, mereka dihadapkan pada klausul hukum asing (choice of law) dan yurisdiksi luar negeri (choice of forum) yang tercantum dalam kontrak digital. Klausul ini memaksa konsumen untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan negara lain, seperti Hong Kong, Singapura, atau bahkan Amerika Serikat, yang tentu saja sangat memberatkan.

Keabsahan Kontrak Elektronik dan Keadilan Kontraktual

Secara hukum, kontrak elektronik di Indonesia dianggap sah berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, keabsahan formal tidak selalu menjamin keadilan bagi konsumen. Kontrak yang ditawarkan dalam platform digital umumnya bersifat baku, di mana konsumen hanya memiliki pilihan untuk menyetujui atau membatalkan tanpa dapat menegosiasikan isinya. Klausul penyelesaian sengketa yang merugikan konsumen sering kali diselipkan dalam kontrak baku ini, padahal kontrak seharusnya didasarkan pada prinsip kesetaraan.

Upaya Perlindungan Konsumen di Tingkat Internasional

Beberapa negara dan organisasi internasional telah berupaya melindungi konsumen dalam transaksi e-commerce lintas negara. Uni Eropa, misalnya, melalui Rome I Regulation, menetapkan bahwa hukum negara tempat tinggal konsumen tetap berlaku dalam kontrak konsumen, meskipun kontrak tersebut mencantumkan hukum asing. Hal ini bertujuan untuk mencegah eksploitasi kontrak oleh perusahaan lintas batas. Model ini sejalan dengan semangat UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dan Model Law on Electronic Signatures, yang menjadi pedoman global. ASEAN juga telah menandatangani ASEAN Agreement on Electronic Commerce (2019) yang mendorong harmonisasi perlindungan konsumen digital.

Langkah-Langkah yang Perlu Dilakukan Indonesia

Untuk melindungi konsumen Indonesia dalam transaksi e-commerce internasional, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah berikut:

  • Membentuk Undang-Undang Khusus Kontrak Digital Internasional: Undang-undang ini harus melarang klausul forum yang memberatkan konsumen dan mengakui yurisdiksi Indonesia sebagai forum yang sah jika konsumen berdomisili di Indonesia.
  • Membentuk Forum Penyelesaian Sengketa Konsumen Digital: Indonesia dapat mencontoh Online Dispute Resolution (ODR) di Uni Eropa untuk menyediakan mekanisme mediasi dan arbitrase online yang murah dan mudah diakses bagi konsumen yang dirugikan dalam e-commerce lintas negara.
  • Mengatur Kewajiban Platform Asing: Platform digital asing yang menjual produk atau jasa ke Indonesia harus tunduk pada hukum Indonesia dan menyediakan layanan pelanggan dalam bahasa Indonesia. Hal ini sejalan dengan prinsip "market targeting" dalam hukum perdagangan internasional.
  • Merevisi UU Perlindungan Konsumen: UU No. 8 Tahun 1999 perlu direvisi untuk mencakup transaksi digital dan memperkuat peran lembaga penyelesaian sengketa konsumen.

Keadilan Kontraktual di Era Digital

Perlindungan konsumen dalam e-commerce bukan hanya masalah digitalisasi kontrak, tetapi juga masalah relasi kuasa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen seringkali berada dalam posisi yang lebih lemah, dan tanpa perlindungan hukum yang memadai, mereka akan terus dirugikan. Keadilan kontraktual harus menjadi prinsip utama dalam hukum kontrak modern. Kontrak yang sah secara formal belum tentu adil, karena keadilan adalah nilai yang melampaui syarat formal.

Negara memiliki peran penting untuk melindungi konsumen dari praktik-praktik yang tidak adil dalam e-commerce global. Kedaulatan hukum tidak boleh terhapus hanya karena kontrak diklik di layar ponsel. Hukum harus menjadi alat perlindungan yang memastikan bahwa kontrak digital tunduk pada logika keadilan, bukan hanya legalitas formal.