Tragedi Kolera di Sudan Selatan: Pemangkasan Dana AS Tinggalkan Dampak Mematikan pada Anak-anak

Krisis Kemanusiaan Meningkat di Sudan Selatan Akibat Pemotongan Bantuan USAID

Sudan Selatan menghadapi krisis kemanusiaan yang semakin parah, terutama bagi anak-anak, akibat wabah kolera yang mematikan dan pemotongan dana bantuan dari Amerika Serikat (AS) melalui USAID. Kondisi ini memaksa penduduk, termasuk anak-anak yang sakit, untuk menempuh perjalanan jauh demi mendapatkan pertolongan medis yang semakin sulit dijangkau. Banyak klinik kesehatan yang terpaksa ditutup akibat kekurangan dana, meninggalkan masyarakat rentan tanpa akses ke perawatan yang penting.

Lembaga-lembaga amal internasional melaporkan bahwa penutupan klinik-klinik tersebut adalah konsekuensi langsung dari kebijakan pemotongan anggaran bantuan luar negeri yang diterapkan oleh pemerintahan AS. Kebijakan ini telah memangkas dana untuk berbagai program kesehatan dan kemanusiaan, termasuk yang sangat dibutuhkan di Sudan Selatan. Negara yang baru merdeka pada tahun 2011 ini masih berjuang dengan kemiskinan ekstrem, ketidakstabilan politik, dan konflik berkepanjangan, membuat situasinya semakin rentan terhadap krisis kesehatan.

Wabah kolera yang melanda Sudan Selatan sejak September 2024 telah menjadi yang terburuk dalam sejarah negara tersebut. UNICEF mencatat lebih dari 40.000 kasus kolera, dengan ribuan kematian dilaporkan, dan sebagian besar korban adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun. Negara bagian Jonglei menjadi wilayah yang paling terdampak, di mana fasilitas kesehatan kewalahan menangani lonjakan pasien. Kondisi ini diperparah dengan penutupan klinik-klinik kesehatan akibat pemotongan dana USAID. Save the Children melaporkan bahwa sedikitnya lima anak meninggal dunia saat berusaha mencapai fasilitas medis di Jonglei.

Dampak Pemotongan Dana pada Layanan Kesehatan

Sebelumnya, Save the Children mengelola 27 klinik di wilayah Akobo Timur. Namun, setelah pemotongan dana USAID, tujuh klinik terpaksa ditutup permanen, dan 20 lainnya hanya dapat beroperasi sebagian. Akibatnya, sekitar 200 staf kesehatan terpaksa diberhentikan, mengurangi kapasitas layanan kesehatan secara signifikan. Pemotongan dana USAID, yang mencapai hampir 43 miliar dolar AS per tahun, berdampak luas pada program bantuan kemanusiaan di seluruh dunia, termasuk di Sudan Selatan.

Sarah, seorang pasien kolera berusia 24 tahun di Jonglei, menggambarkan situasi yang memprihatinkan: "Dulu kami bahagia karena ada banyak dokter dan obat-obatan yang cukup. Kami tidak banyak menderita. Namun sekarang, kami sangat menderita." Michael, seorang pekerja kesehatan sukarela, menambahkan bahwa masyarakat semakin kesulitan mendapatkan obat-obatan yang dibutuhkan. Mereka hanya mampu memberikan garam rehidrasi oral sebagai pertolongan pertama.

Data dari UNICEF menunjukkan bahwa hingga Maret 2025, hampir 700 kematian akibat kolera telah tercatat, dengan setengahnya adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun. Sebagian besar dari sepuluh negara bagian di Sudan Selatan telah terdampak, dengan Jonglei menjadi yang paling parah.

Seruan untuk Tindakan Global

Chris Nyamandi, Direktur Negara UNICEF di Sudan Selatan, mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam. Ia menggambarkan situasi di lapangan sebagai sesuatu yang "keluar dari dunia distopia." Nyamandi menyerukan tindakan global yang mendesak untuk mengatasi krisis ini dan menghentikan kematian anak-anak yang dapat dicegah. Ia menekankan bahwa harus ada kemarahan moral global terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemimpin negara lain yang menyebabkan kematian anak-anak.

Krisis kolera di Sudan Selatan, yang diperparah oleh pemotongan dana bantuan dari AS, adalah pengingat akan kerentanan populasi yang terkena dampak konflik dan kemiskinan. Tindakan segera diperlukan untuk memberikan bantuan kemanusiaan, memperkuat sistem kesehatan, dan mencegah tragedi lebih lanjut.