Nasib Layar Tancap di Ibu Kota: Operator Mengharapkan Lebih dari Sekadar Liputan Media dan Konten Digital

Revitalisasi Layar Tancap: Operator Film Keliling Jakarta Menggantungkan Harapan pada Dukungan Pemerintah

Di tengah gempuran platform streaming dan bioskop modern, tradisi layar tancap, atau pemutaran film keliling, masih berdenyut di beberapa sudut Jakarta. Namun, di balik antusiasme masyarakat dan sorotan media, terdapat cerita tentang perjuangan para operator yang bergelut dengan keterbatasan sumber daya. Soleh (53), seorang operator layar tancap di kawasan Jakarta Selatan, mengungkapkan harapan agar pemerintah tidak hanya memanfaatkan kegiatan mereka sebagai konten promosi semata, tetapi juga memberikan dukungan nyata.

"Kami ingin lebih dari sekadar diliput dan dijadikan konten," ujar Soleh saat ditemui di sela-sela persiapan pemutaran film di Lebak Bulus. "Setidaknya ada bantuan untuk operasional, seperti kopi atau kebutuhan lainnya. Ini semua demi kelancaran acara."

Pengalaman Soleh menggambarkan realitas yang dihadapi banyak pelaku seni tradisional di era digital. Di satu sisi, mereka menyambut baik perhatian yang diberikan oleh media dan pemerintah daerah melalui publikasi di media sosial. Contohnya, saat tim Soleh bersiap untuk pemutaran film terakhir sebelum memasuki bulan puasa, seorang perwakilan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Administrasi Jakarta Selatan meminta izin untuk merekam video persiapan dan membagikannya di akun Instagram resmi kota. Konten tersebut mendapat respons positif dari warganet, bahkan menarik perhatian sutradara ternama Hanung Bramantyo.

Namun, di sisi lain, perhatian tersebut belum diimbangi dengan dukungan finansial atau fasilitas yang memadai. Soleh menuturkan bahwa selama ini, ia dan timnya mengandalkan swadaya dan dukungan dari komunitas untuk menjalankan kegiatan layar tancap. Padahal, kegiatan ini memiliki potensi besar untuk menjadi daya tarik wisata dan wadah pelestarian budaya.

Harapan di Tengah Keterbatasan

Soleh dan komunitasnya telah aktif menggelar pemutaran film layar tancap sejak dua tahun lalu. Mereka rutin mengadakan acara nonton bareng (nobar) film-film klasik di ruang publik, seperti Waduk Lebak Bulus. Kegiatan ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya, sehingga dapat diakses oleh semua kalangan.

Antusiasme masyarakat terhadap layar tancap menjadi bukti bahwa tradisi ini masih relevan dan memiliki tempat di hati warga Jakarta. Banyak yang rindu dengan suasana nostalgia dan kebersamaan yang ditawarkan oleh pemutaran film di ruang terbuka. Selain itu, layar tancap juga menjadi alternatif hiburan yang terjangkau, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu.

Dukungan Pemerintah: Sebuah Kebutuhan Mendesak

Oleh karena itu, Soleh berharap agar pemerintah dapat memberikan dukungan yang lebih konkret kepada para operator layar tancap. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan dana untuk operasional, penyediaan fasilitas pemutaran film, atau promosi kegiatan layar tancap melalui saluran-saluran resmi pemerintah.

"Kami berharap pemerintah dapat melihat potensi layar tancap sebagai aset budaya yang perlu dilestarikan," kata Soleh. "Dengan dukungan yang tepat, kami yakin layar tancap dapat terus berkembang dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Jakarta."

Berikut adalah beberapa bentuk dukungan yang diharapkan oleh Soleh dan komunitas layar tancap:

  • Bantuan dana untuk operasional (sewa peralatan, transportasi, izin)
  • Penyediaan fasilitas pemutaran film (layar, proyektor, sound system)
  • Promosi kegiatan layar tancap melalui media sosial dan website pemerintah
  • Pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kualitas pemutaran film
  • Kerjasama dengan sekolah dan komunitas untuk memperkenalkan layar tancap kepada generasi muda

Dengan dukungan yang memadai, layar tancap tidak hanya akan menjadi sekadar hiburan nostalgia, tetapi juga menjadi wadah pelestarian budaya, pengembangan kreativitas, dan pemberdayaan masyarakat.