Skandal Kekerasan Seksual di RSHS Bandung: Kemenkes Ambil Tindakan Tegas, STR Dokter PPDS Dicabut

Respons Cepat Kemenkes Atas Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di RSHS Bandung

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan respons cepat dan tegas terhadap kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Kasus ini mencoreng dunia medis dan mengundang perhatian publik. Kemenkes telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk memastikan keadilan dan keamanan bagi semua pihak.

Sebagai tindakan awal, Kemenkes telah secara resmi meminta Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dokter PPDS yang bersangkutan, yang diidentifikasi sebagai dr. PAP. Pencabutan STR ini akan secara otomatis berimplikasi pada pembatalan Surat Izin Praktik (SIP) yang dimiliki oleh dokter tersebut. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, menegaskan bahwa tindakan ini adalah bentuk komitmen Kemenkes dalam menindak tegas pelaku kekerasan seksual dan memastikan lingkungan kerja dan pendidikan yang aman bagi semua.

Penghentian Sementara Kegiatan Residensi dan Evaluasi Sistem

Selain pencabutan STR, Kemenkes juga menginstruksikan penghentian sementara seluruh kegiatan residensi PPDS Anestesiologi di RSUP Hasan Sadikin selama satu bulan. Langkah ini diambil untuk memungkinkan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan tata kelola pendidikan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan. Kemenkes bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran untuk mengidentifikasi kelemahan dalam sistem yang ada dan menerapkan perbaikan yang diperlukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.

Aji Muhawarman menjelaskan bahwa dr. PAP telah dikembalikan ke Universitas Padjadjaran dan diberhentikan sebagai mahasiswa. Proses hukum terkait kasus ini juga tengah berjalan di Polda Jawa Barat, yang menangani kasus ini dengan serius.

Kronologi Kejadian dan Proses Hukum

Kasus ini bermula pada 18 Maret 2025, ketika dr. PAP diduga melakukan kekerasan seksual terhadap seorang perempuan yang sedang mendampingi ayahnya yang menjalani perawatan intensif di ruang perawatan Gedung MCHC RSHS. Korban diduga berada dalam kondisi tidak sadar akibat efek obat bius yang disuntikkan oleh pelaku melalui infus. Setelah sadar, korban merasakan kejanggalan dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib.

Polda Jawa Barat telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi, termasuk korban, keluarga korban, perawat, dan tenaga medis lainnya. Barang bukti seperti hasil visum dan alat kontrasepsi telah diamankan. Pemeriksaan psikologi forensik juga dilakukan untuk mendalami motif pelaku. Kasus ini masih dalam tahap penyidikan dan polisi berjanji untuk menindaklanjuti kasus ini hingga tuntas.

Implikasi dan Harapan

Kasus ini menjadi pengingat bagi semua pihak tentang pentingnya pengawasan dan tata kelola yang baik dalam pendidikan dokter spesialis. Kemenkes berharap bahwa tindakan tegas yang diambil dalam kasus ini dapat memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Kemenkes juga berkomitmen untuk terus meningkatkan sistem pengawasan dan tata kelola pendidikan dokter spesialis di seluruh rumah sakit pendidikan di Indonesia.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya keberanian korban untuk melaporkan kekerasan seksual. Kemenkes mengimbau kepada semua korban kekerasan seksual untuk tidak takut melaporkan kejadian yang dialami kepada pihak berwajib. Kemenkes juga menyediakan layanan konseling dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual.

Kemenkes berharap bahwa kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak dan mendorong terciptanya lingkungan kerja dan pendidikan yang aman dan nyaman bagi semua tenaga medis dan pasien.