Tarif Impor Era Trump Mendorong Investasi Energi Terbarukan Global

Dampak Tarif Trump pada Pengembangan Energi Terbarukan: Analisis Mendalam

Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap berbagai barang impor, secara paradoks dapat berfungsi sebagai katalisator bagi pengembangan energi terbarukan di seluruh dunia. Analisis dari lembaga think tank Ember, yang disampaikan oleh analis Euan Graham, menyoroti bahwa tarif ini memicu kekhawatiran tentang ketahanan energi di berbagai negara.

Kekhawatiran Ketahanan Energi Memicu Investasi Lokal

Kenaikan tarif impor, meskipun awalnya menyebabkan gejolak di pasar energi dan ekuitas serta menimbulkan kekhawatiran akan resesi global, mendorong negara-negara untuk lebih fokus pada keamanan dan ketahanan energi mereka. Hal ini membuat sumber energi terbarukan domestik, seperti tenaga angin dan matahari, menjadi semakin menarik sebagai alternatif yang stabil dan berkelanjutan. Graham menekankan bahwa meskipun dampak tarif Trump pada permintaan listrik secara keseluruhan masih belum dapat dipastikan, sektor energi terbarukan jelas diuntungkan.

Transisi Energi Tidak Terbendung

Andreas Sieber dari lembaga 350.org memperkuat argumen ini dengan menyatakan bahwa kebijakan tarif Trump tidak akan menghentikan laju transisi energi global menuju sumber-sumber energi bersih. Kontribusi Amerika Serikat terhadap perdagangan teknologi bersih global dinilai terlalu kecil untuk secara signifikan mempengaruhi arah perkembangan energi terbarukan secara global. Menurut proyeksi Badan Energi Internasional (IEA), negara-negara berkembang akan mendominasi pasar energi bersih pada tahun 2030, dengan kontribusi terbesar dalam kapasitas terpasang energi bersih berasal dari negara-negara tersebut.

Dominasi Negara Berkembang dalam Energi Bersih

IEA memperkirakan bahwa negara-negara berkembang akan menyumbang:

  • 70% dari kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) baru.
  • 60% dari kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) baru.
  • 60% dari kapasitas penyimpanan baterai baru.

Sieber berpendapat bahwa Amerika Serikat telah mengisolasi diri dari perkembangan energi bersih selama dekade terakhir. Sementara itu, China telah muncul sebagai produsen dan eksportir terbesar di dunia untuk teknologi PLTS, turbin angin, dan kendaraan listrik. Menariknya, hanya sebagian kecil (sekitar 4%) dari produksi teknologi bersih China yang diekspor ke Amerika Serikat. Pada tahun 2024, China mengekspor 235,93 gigawatt (GW) modul surya, menunjukkan dominasinya yang tak tertandingi di pasar global.

AS: Pemain yang Menyusut dalam Perlombaan Teknologi Bersih

Kesimpulannya, dalam konteks persaingan teknologi bersih global, Amerika Serikat dipandang sebagai pemain yang semakin menyusut dan terisolasi. Kebijakan tarif era Trump, alih-alih menghambat, justru memicu negara-negara lain untuk berinvestasi lebih banyak pada energi terbarukan domestik guna meningkatkan ketahanan energi mereka. Dominasi negara-negara berkembang, khususnya China, dalam produksi dan ekspor teknologi bersih semakin memperkuat tren transisi energi global yang tak terhindarkan.