Vonis Bebas Ronald Tannur: Mufakat Hakim Surabaya Terindikasi Suap dan Polemik Fakta Persidangan

Kontroversi Vonis Bebas Ronald Tannur: Dugaan Suap Mencuat dalam Kesaksian Hakim

Kasus vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan Dini Sera Afrianti, terus bergulir dengan munculnya berbagai fakta baru yang mengejutkan. Kesepakatan bulat majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam membebaskan Ronald Tannur kini diwarnai dugaan praktik suap dan gratifikasi. Hal ini terungkap dalam persidangan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan tiga hakim nonaktif PN Surabaya, yaitu Erintuah Damanik (hakim ketua), Mangapul, dan Heru Hanindyo (anggota majelis).

Kesaksian Mangapul Ungkap Mufakat "Satu Pintu"

Mangapul, dalam kesaksiannya sebagai saksi mahkota untuk terdakwa Heru Hanindyo, membenarkan adanya kesepakatan untuk membebaskan Ronald Tannur. Kesepakatan ini dicapai melalui dua kali musyawarah yang dilakukan setelah sidang pemeriksaan terdakwa dan sidang tuntutan. Menurut Mangapul, Erintuah Damanik melontarkan istilah "satu pintu" setelah ketiga hakim sepakat membebaskan Ronald Tannur. Istilah ini diartikan Mangapul sebagai sinyal bahwa Erintuah akan bertemu dengan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk menerima "ucapan terima kasih" berupa uang.

Jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung terus menggali keterangan Mangapul terkait makna "satu pintu" tersebut. Mangapul mengakui bahwa dirinya memahami "satu pintu" sebagai indikasi adanya pemberian uang dari pihak Ronald Tannur kepada majelis hakim.

Bantahan Heru Hanindyo dan Polemik Fakta Persidangan

Di sisi lain, hakim Heru Hanindyo membantah keterangan Mangapul dan Erintuah terkait pembagian uang sebesar 140.000 dollar Singapura. Heru mengaku tidak berada di lokasi saat pembagian uang tersebut dilakukan. Ia juga mengklaim bahwa dirinya jarang berada di PN Surabaya karena menjalani operasi saraf gigi dan tugas dinas ke luar kota pada periode Juni-Juli.

Mangapul sendiri mengaku kaget bahwa vonis bebas Ronald Tannur menjadi bermasalah. Ia berdalih bahwa fakta yang terungkap di persidangan berbeda dengan video viral yang menunjukkan aksi kekerasan Ronald Tannur terhadap Dini Sera Afrianti. Mangapul mengklaim bahwa majelis hakim telah sepakat membebaskan Ronald Tannur berdasarkan fakta hukum yang ada di persidangan.

Kuasa hukum Heru Hanindyo kemudian mempertanyakan keyakinan Mangapul saat menyetujui vonis bebas Ronald Tannur. Mereka menggali apakah keputusan tersebut didasarkan pada fakta persidangan atau karena adanya janji atau ajakan dari Lisa Rachmat atau hakim lainnya. Mangapul bersikukuh bahwa keputusannya didasarkan pada fakta persidangan yang menunjukkan bahwa Ronald Tannur tidak bersalah.

Implikasi Hukum dan Etika

Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan dugaan suap dan gratifikasi dalam proses peradilan. Jika terbukti bersalah, ketiga hakim nonaktif PN Surabaya tersebut terancam hukuman berat sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan independensi hakim dalam menjalankan tugasnya. Publik berharap agar kasus ini diusut tuntas dan para pelaku dihukum setimpal agar memberikan efek jera dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Ketiga hakim didakwa dengan: * Pasal 12 huruf c * Pasal 6 Ayat (2) * Pasal 5 Ayat (2) * Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Kasus ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya pengawasan yang ketat terhadap kinerja hakim dan mekanisme pelaporan yang efektif untuk mencegah praktik korupsi di lingkungan peradilan. Masyarakat sipil dan media massa juga memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya persidangan dan memastikan transparansi serta akuntabilitas dalam proses peradilan.