Era Disrupsi AI: Adaptasi atau Ketinggalan di Tengah Gelombang Transformasi
Menavigasi Gelombang Disrupsi AI: Strategi Adaptasi untuk Masa Depan
Dahulu, kecerdasan buatan (AI) dianggap sebagai konsep futuristik yang terbatas pada dunia permainan. Kini, AI telah merasuki hampir setiap aspek kehidupan kita, dari sains dan teknologi hingga ilmu sosial dan humaniora. Penerapannya yang luas memicu potensi disrupsi signifikan terhadap lanskap pekerjaan manusia.
World Economic Forum (WEF) memperkirakan pergeseran drastis dalam pembagian kerja antara manusia dan mesin. Jika pada tahun 2022 mesin melakukan sekitar 34% pekerjaan, proyeksi menunjukkan peningkatan menjadi 43% pada tahun 2027, meninggalkan 57% pekerjaan untuk manusia. Lebih jauh lagi, kemunculan Fourth Generation of Artificial Intelligence (4G AI) yang diprediksi akan semakin cerdas pada tahun 2030, bertepatan dengan hadirnya jaringan nirkabel generasi keenam (6G) yang super cepat, diperkirakan akan mempercepat transformasi digital dan berpotensi menggantikan lebih banyak pekerjaan manusia.
Menyadari potensi dampak disruptif ini, berbagai negara, terutama di Eropa, tengah berupaya menyusun regulasi untuk memitigasi dampak negatifnya. Konsep Industri 5.0 yang diluncurkan pada tahun 2020 mengusung visi mass customization dengan tiga pilar utama: human-centricity (kolaborasi manusia-mesin), ketahanan (resilience), dan keberlanjutan (sustainability). Pendekatan ini menggeser fokus dari sekadar 'otomatisasi pekerjaan' menjadi 'optimalisasi jam kerja' untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Enam Pilar Teknologi Masa Depan
AI merupakan salah satu dari enam teknologi penting yang perlu dikuasai oleh semua generasi, mulai dari Gen-X hingga Alpha Gen. Keenam pilar tersebut meliputi:
- Bio-inspired technologies and smart materials: Teknologi terinspirasi alam dan material cerdas.
- Energy efficiency and autonomy: Efisiensi energi dan otonomi.
- Human-machine interaction: Interaksi manusia-mesin.
- Digital twin and simulations: Kembaran digital dan simulasi.
- Data sharing, storage, and analytic: Berbagi data, penyimpanan, dan analisis.
- Artificial Intelligence (AI): Kecerdasan Buatan.
Kesiapan dalam mengadopsi teknologi-teknologi ini akan menentukan keberhasilan mencapai tujuan Industri 5.0 dalam empat dimensi: ekonomi, komunitas, kebijakan, dan ekologi. Sebaliknya, kegagalan dalam mempersiapkan diri akan berujung pada disrupsi yang semakin parah.
Dalam konteks pendidikan, diperlukan pendekatan mass customization yang memberikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan pemangku kepentingan. Hal ini membutuhkan dukungan teknologi yang tepat, bukan lagi metode manual.
AI: Ancaman atau Peluang?
Riset dari McKinsey & Company pada Juli 2024 menunjukkan bahwa aplikasi AI berpotensi membuka nilai ekonomi global sebesar US$ 11 - 18 triliun. Bagi Indonesia, pemanfaatan AI diperkirakan dapat menyumbang US$ 366 miliar bagi PDB pada tahun 2030. Oleh karena itu, AI bukan semata-mata ancaman, melainkan peluang besar yang perlu dimanfaatkan.
Untuk menikmati disrupsi AI, individu perlu mengembangkan kreativitas, humanitas, kesadaran diri yang tinggi, serta kemampuan menguasai dan mengadaptasi AI secara maksimal. Kolaborasi antara kecerdasan manusia dan kemampuan AI akan menghasilkan solusi inovatif untuk berbagai permasalahan.
Adaptasi adalah Kunci
Dalam era AI, penguasaan teknologi menjadi keunggulan kompetitif. Individu yang kreatif dan humanis namun tidak menguasai AI akan tertinggal oleh mereka yang mampu memanfaatkan AI sebagai alat bantu. Sekolah, perguruan tinggi, perusahaan, dan bahkan negara yang mengadopsi AI akan memiliki keunggulan dibandingkan yang tidak.
Menjalani kehidupan di era AI memang menantang, namun dengan penguasaan teknologi, tantangan tersebut dapat diubah menjadi peluang. Pengetahuan dan keterampilan sains-teknik terkini menjadi bekal utama, sementara keterampilan sosial-humaniora menjadi fondasi ketahanan.
Personalisasi dan Generalisasi
Untuk menghadapi era AI, ada dua pendekatan yang dapat diambil: personalisasi dan generalisasi. Personalisasi akan menghasilkan pengetahuan dan keterampilan unik yang sulit digantikan oleh AI. Sebaliknya, generalisasi akan menghasilkan kemampuan berpikir sistemik yang juga sulit ditiru oleh AI.
Mempelajari berbagai bidang sains-teknik dan sosial-humaniora akan memberikan pemahaman yang lebih holistik terhadap masalah dan kemampuan merumuskan solusi yang lebih terstruktur. Keseimbangan antara sains-teknik dan sosial-humaniora sangat penting.
Pengalaman studi di Swedia pada tahun 2004 memberikan gambaran nyata tentang pentingnya integrasi sains-teknik dan sosial-humaniora. Sistem dan teknologi canggih yang didukung oleh pemahaman mendalam tentang sosial-humaniora memungkinkan penyelesaian masalah yang efisien dan efektif. Sejak saat itu, keyakinan akan pentingnya kedua bidang ini semakin menguat: sains-teknik menyelesaikan sebagian masalah, sosial-humaniora menyelesaikan sisanya, dan kombinasi keduanya menuntaskan segalanya.