Perumahan Maharta Diterjang Banjir: Warga Salahkan Jembatan Baru dan Sistem Drainase Buruk

Banjir Kembali Melanda Maharta: Warga Menjerit Akibat Drainase yang Buruk

Hujan deras yang mengguyur Tangerang Selatan pada Minggu sore, 6 April 2025, kembali membawa petaka bagi warga Perumahan Maharta, Pondok Kacang. Banjir dengan ketinggian mencapai 130 sentimeter merendam rumah-rumah, melumpuhkan aktivitas ekonomi, dan meninggalkan jejak lumpur serta sampah yang menyulitkan pemulihan.

Bagi sebagian besar warga Maharta, banjir bukanlah fenomena baru. Mereka telah terbiasa hidup berdampingan dengan ancaman banjir yang datang hampir setiap bulan. Kondisi ini menimbulkan keputusasaan dan kelelahan, terutama bagi mereka yang harus berulang kali membersihkan rumah dan mengganti barang-barang yang rusak.

"Baru selesai bersih-bersih dari banjir sebelumnya, sekarang harus mulai lagi dari awal," keluh Bambang, seorang pemilik warung pecel lele yang telah tinggal di Maharta sejak tahun 1991.

Akar Masalah: Jembatan Baru dan Drainase yang Tidak Memadai

Warga meyakini bahwa penyebab utama banjir berulang ini adalah perubahan infrastruktur yang memperburuk sistem drainase. Pembangunan jembatan baru yang lebih tinggi dianggap mempersempit aliran kali, menyebabkan air tersumbat dan meluap.

"Dulu kalinya standar, jembatan tidak dinaikkan tidak masalah, airnya enak mengalir, lurus saja tidak menumpuk. Sekarang jembatannya tinggi, air mengumpul semua, kalinya kecil," jelas Bambang.

Selain itu, kerusakan pompa air yang sering terjadi juga memperparah situasi. Pompa yang tidak berfungsi optimal membuat air sulit surut, memperpanjang durasi banjir dan meningkatkan dampaknya.

"Pompanya rusak terus. Jadi perlu ada tambahan pompa dan seharusnya dikeruk kalinya yang paling penting," imbuhnya.

Dampak Banjir: Kerugian Material dan Keresahan Warga

Banjir yang datang dengan cepat membuat warga tidak memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan barang-barang berharga mereka. Banyak yang harus merelakan perabotan rumah tangga, peralatan elektronik, dan bahkan bahan makanan terendam air.

Samratuti, seorang warga berusia 60 tahun, mengungkapkan kepedihannya. "Saya cuma sempat selamatkan bantal, sepatu. Kulkas, sofa, beras semua kerendam. TV untungnya nyantol di dinding," tuturnya.

Ia menggambarkan kondisi Maharta seperti "wajan besar" yang menampung air tanpa jalan keluar. "Jembatan ditinggikan tapi kami yang terendam. Seperti wajanlah, saya lihat-lihat. Kayak tekukan yang di sini, airnya tidak bisa keluar," kata Samratuti dengan nada putus asa.

Harapan dan Upaya Warga: Solusi Mandiri di Tengah Kekecewaan

Kekecewaan terhadap pemerintah yang dianggap kurang responsif mendorong warga untuk mencari solusi mandiri. Beberapa warga mulai menggagas pengadaan pompa portable secara patungan sebagai upaya penanggulangan banjir darurat.

"Sudah capek menerima janji. Kalau perlu kita bikin sendiri, kita cari solusi bareng warga," tegasnya.

Meski demikian, warga tetap berharap ada langkah nyata dari pemerintah untuk mengatasi masalah banjir secara permanen. Pengerukan kali dan peningkatan kapasitas pompa air menjadi prioritas utama yang mereka harapkan.

"Harapannya, jangka panjangnya tolong dipikirkan kepada pemerintah kalau bisa dikeruk kalinya," ucap Samratuti.

"Untuk jangka pendeknya, tolong kami dibagi untuk pompa dulu. Pompa yang bisa mengatasi emergensi. Bila ada pompa emergensi, secepatnya kami bisa kerja," tutupnya.

Banjir di Maharta adalah cerminan dari permasalahan tata ruang dan drainase yang kompleks. Diperlukan solusi komprehensif yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan para ahli untuk mengatasi masalah ini secara berkelanjutan dan memberikan rasa aman bagi warga Maharta.