Kupat Jembut: Tradisi Syawalan Unik di Pedurungan Semarang, Simbol Kebersamaan dan Sejarah Panjang

Tradisi Syawalan di Kota Semarang selalu menghadirkan keunikan tersendiri. Salah satunya adalah tradisi Kupat Jembut, sebuah tradisi pembagian ketupat sayur yang sarat makna dan sejarah, khususnya di wilayah Pedurungan Tengah.

Semarak Kupat Jembut di Kampung Jaten Cilik

Di Kampung Jaten Cilik, RW 6, Kelurahan Pedurungan Tengah, kemeriahan perayaan Kupat Jembut sudah terasa sejak pagi hari. Suara petasan dan kembang api memecah keheningan, menandai dimulainya acara. Anak-anak dengan antusias berkumpul di Masjid Roudhotul Muttaqin, membawa kantong plastik untuk menampung Kupat Jembut yang akan dibagikan.

Setelah doa bersama, empat tampah besar berisi Kupat Jembut dikeluarkan dan dibagikan kepada anak-anak. Tak hanya itu, mereka juga menerima uang sebagai bagian dari tradisi ini. Suara ketukan tiang listrik menjadi penanda bagi anak-anak untuk berlarian mencari sumber suara, di mana warga telah siap dengan Kupat Jembut dan uang.

"Senang sekali dapat ketupat isinya ada uangnya. Kalau kumpul mau buat beli handphone," ujar Abid, salah seorang anak yang mengikuti perayaan ini, dengan riang.

Atmosfer perayaan sangat meriah dengan anak-anak yang berlomba mencari sumber suara dan mendapatkan Kupat Jembut. Nama Kupat Jembut sendiri terbilang unik. Ketupat dibelah dan diisi dengan sayuran, kemudian ditambahkan tauge yang menjuntai menyerupai rambut, sehingga disebutlah Kupat Jembut.

Perbedaan Tradisi di RW 1

Berbeda dengan kemeriahan di Kampung Jaten Cilik, pembagian Kupat Jembut di RW 1 Pedurungan Tengah berlangsung lebih tertib. Di sini, pembagian ketupat dan uang dilakukan secara bergilir, tanpa mengikuti sumber suara. Anak-anak berbaris rapi dan mendatangi satu per satu rumah warga yang telah menyiapkan Kupat Jembut dan uang.

Sejarah dan Makna di Balik Kupat Jembut

Menurut Imam Masjid Roudhotul Muttaqin, Munawir, tradisi Kupat Jembut sudah ada sejak tahun 1950-an, tepatnya setelah Perang Dunia II. Saat itu, warga Pedurungan yang mengungsi ke Demak dan Purwodadi akibat serangan sekutu, kembali ke kampung halaman sebelum bulan Ramadan.

"Sekutu pulang tahun 1951. Warga kembali ke wilayah masing-masing," jelas Munawir.

Pada masa itu, kondisi ekonomi warga masih serba kekurangan. Oleh karena itu, saat Syawalan, mereka berbagi ketupat yang dibelah dan diisi dengan sayuran sederhana. Kupat Jembut memiliki makna simbolis sebagai penanda berakhirnya Lebaran dan simbol saling memaafkan.

"Dalam kesederhanaan, ada perayaan Syawalan, maka diadakan ketupat yang dibelah tengahnya, sebagai tanda Lebaran hari raya sudah selesai, silahkan beraktivitas biasa. Simbol sudah bermaafan di antara teman, saudara, tetangga. Simbol kesederhanaan, perayaan tidak harus mewah tapi penuh makna," ungkap Munawir.

Nama Kupat Jembut sendiri merupakan nama plesetan yang mudah diingat dan mulai populer di awal tahun 2000-an. Seiring waktu, warga mulai menambahkan uang ke dalam Kupat Jembut untuk dibagikan kepada anak-anak.

"Tahun 90-an itu pernah ketupat kosong (kulitnya saja) terus diisi uang," imbuh Munawir.

Tradisi Syawalan di Kampung Jaten Cilik ini juga memiliki sejarah kelam. Pada masa lalu, Kupat Jembut sempat dijadikan simbol perlawanan terhadap komunis. Warga mengganti ketupat dengan mercon saat Syawalan dan menyalakannya sebagai bentuk perlawanan.

"Ada perkembangan dalam perayaan, dulu tahun 1965 waktu G30S PKI yang dibagi mercon, bukan ketupat. Simbol perlawanan terhadap komunisme," pungkas Munawir.

Tradisi Kupat Jembut bukan sekadar tradisi pembagian ketupat biasa. Ia adalah representasi dari sejarah panjang, kebersamaan, dan semangat gotong royong masyarakat Pedurungan, Semarang. Sebuah tradisi yang patut dilestarikan dan diwariskan kepada generasi mendatang.