Tragedi Puncak Jaya Picu Desakan Revisi UU Pemilu: Sistem Pilkada Asimetris Jadi Sorotan

Tragedi Puncak Jaya Picu Desakan Revisi UU Pemilu: Sistem Pilkada Asimetris Jadi Sorotan

Jakarta - Gelombang kekerasan yang menelan korban jiwa dalam Pilkada Puncak Jaya, Papua Tengah, kembali membuka luka lama terkait efektivitas dan relevansi Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini. Komisi II DPR RI merespons tragedi yang menewaskan 12 orang dan melukai ratusan lainnya dengan menyatakan urgensi revisi UU Pemilu, khususnya terkait pelaksanaan Pilkada di daerah-daerah dengan karakteristik sosial dan politik yang unik.

Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan bahwa insiden Puncak Jaya menjadi momentum krusial untuk mengevaluasi secara komprehensif pelaksanaan Pilkada di berbagai wilayah, terutama yang rentan terhadap konflik. "Kita perlu melakukan evaluasi mendasar terkait pelaksanaan kampanye dan Pilkada di beberapa daerah, termasuk di Papua, yang kerap kali mendatangkan konflik bahkan merebut nyawa," ujarnya.

Desakan revisi ini mengemuka seiring dengan sorotan terhadap ketidakmampuan sistem Pilkada saat ini dalam mengakomodasi dinamika sosial dan politik yang kompleks di berbagai daerah. Rifqinizamy menilai bahwa konflik yang berujung pada jatuhnya korban jiwa menjadi indikasi bahwa sistem Pilkada belum sepenuhnya adaptif terhadap karakteristik masyarakat di daerah tertentu. Oleh karena itu, pembahasan revisi UU paket politik, termasuk UU Pilkada, akan menjadi prioritas utama Komisi II DPR RI.

Opsi Pilkada Asimetris

Salah satu opsi yang mencuat dalam wacana revisi UU Pemilu adalah penerapan sistem Pilkada asimetris. Konsep ini memungkinkan mekanisme pemilihan kepala daerah berbeda-beda di setiap wilayah, disesuaikan dengan tingkat pendidikan, kesejahteraan, hingga kondisi sosial-politik masyarakat setempat. Rifqinizamy menjelaskan, "Apakah kemudian ide untuk menarik kembali Pilkada ke DPRD, atau kita melaksanakan pilkada yang asimetris, dalam pengertian di setiap tempat itu berbeda cara dan mekanisme pemilihan kepala daerahnya tergantung dari berbagai macam variabel, termasuk tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakatnya."

Wacana ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai desentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan Pilkada. Dengan memberikan fleksibilitas kepada daerah untuk menyesuaikan mekanisme pemilihan dengan konteks lokal, diharapkan potensi konflik dapat diminimalisir.

Kronologi Konflik Puncak Jaya

Sebagai informasi, bentrokan antara massa pendukung pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Puncak Jaya telah berlangsung sejak November 2024 hingga awal April 2025. Konflik ini melibatkan pendukung pasangan Yuni Wonda–Mus Kogoya (paslon nomor urut 1) dan Miren Kogoya–Mendi Wonerengga (paslon nomor urut 2). Data dari Satuan Tugas Damai Cartenz mencatat bahwa konflik ini telah menewaskan 12 orang dan melukai 658 lainnya.

Rincian korban menunjukkan bahwa delapan orang meninggal dunia berasal dari pendukung paslon nomor urut 1, sementara empat lainnya dari pendukung paslon nomor urut 2. Sementara itu, korban luka terdiri dari 423 orang dari paslon nomor urut 1 dan 230 orang dari paslon nomor urut 2.

Tragedi Puncak Jaya menjadi pengingat pahit akan pentingnya reformasi sistem Pemilu yang inklusif dan adaptif terhadap keberagaman sosial dan politik di Indonesia. Revisi UU Pemilu diharapkan dapat menghasilkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mencegah terulangnya konflik serupa di masa mendatang.

  • Data Korban Bentrokan Puncak Jaya:
    • Meninggal Dunia: 12 orang (8 pendukung Paslon 1, 4 pendukung Paslon 2)
    • Luka-luka: 658 orang (423 pendukung Paslon 1, 230 pendukung Paslon 2)