Gelombang Kekerasan Ancam Kebebasan Pers di Indonesia: Impunitas dan Intimidasi Jadi Sorotan

Gelombang Kekerasan Ancam Kebebasan Pers di Indonesia: Impunitas dan Intimidasi Jadi Sorotan

Jakarta - Serangkaian insiden kekerasan yang menimpa jurnalis dalam beberapa bulan terakhir telah memicu kekhawatiran serius tentang masa depan kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. Akademisi Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya, menyatakan keprihatinannya atas berulangnya kasus-kasus ini, yang dianggapnya sebagai ancaman nyata terhadap pilar demokrasi.

"Dalam tiga bulan terakhir, terjadi enam peristiwa kekerasan yang dialami oleh rekan-rekan jurnalis. Ini adalah ancaman serius bagi kebebasan pers, yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi," ujar Halimah dalam keterangan tertulisnya. Dia menekankan bahwa tindakan kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga upaya untuk membungkam kebebasan berekspresi secara luas.

Serangkaian Kasus Kekerasan yang Mengkhawatirkan

Beberapa kasus kekerasan yang terjadi belakangan ini menyoroti kerentanan jurnalis dalam menjalankan tugasnya:

  • Pembunuhan Jurnalis di Banjarbaru: Juwita, seorang jurnalis di Banjarbaru, menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anggota TNI AL bernama Jumrah. Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis yang belum terselesaikan.
  • Teror Kepala Babi untuk Redaksi Tempo: Redaksi majalah Tempo menjadi sasaran teror dengan dikirimkannya kepala babi pada 19 Maret 2025. Beberapa hari kemudian, mereka kembali menerima kiriman bangkai tikus. Serangan ini jelas merupakan upaya untuk mengintimidasi dan membungkam suara kritis media.
  • Ancaman dan Penggeledahan terhadap Jurnalis Kompas.com: Jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara, mendapat ancaman dari dua pengawal Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto usai mewawancarai sang jenderal. Selain itu, Rega Almutada, jurnalis Kompas.com lainnya, mengalami penggeledahan dan pembukaan paksa konten ponselnya oleh orang yang diduga aparat saat meliput aksi demonstrasi.
  • Kematian Jurnalis Palu: Situr Wijaya, seorang jurnalis asal Palu, ditemukan meninggal dunia di Jakarta dalam kondisi yang mencurigakan. Kasus ini masih dalam proses penyelidikan oleh pihak kepolisian.
  • Pemukulan Wartawan oleh Ajudan Kapolri: Insiden terbaru melibatkan ajudan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang melakukan pemukulan terhadap seorang awak media saat meliput di Stasiun Tawang, Semarang.

Desakan untuk Penegakan Hukum dan Tindakan Tegas

Menanggapi serangkaian kasus kekerasan ini, Halimah mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak serius dalam mengusut tuntas setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dia juga menuntut tindakan tegas terhadap pelaku, termasuk mereka yang berasal dari kalangan aparat.

"Khusus peristiwa yang melibatkan ajudan Panglima TNI dan ajudan Kapolri, tidak cukup diselesaikan dengan permintaan maaf. Copot sebagai ajudan, dan lakukan tindak hukum," tegasnya.

Halimah juga mengingatkan bahwa impunitas terhadap pelaku kekerasan akan mengirimkan pesan yang salah dan mendorong tindakan serupa di masa depan. Oleh karena itu, penegakan hukum yang adil dan transparan sangat penting untuk melindungi kebebasan pers dan mencegah berulangnya kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Gelombang kekerasan terhadap jurnalis ini menjadi ujian bagi komitmen Indonesia terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Masyarakat sipil, organisasi pers, dan seluruh elemen bangsa harus bersatu untuk mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan mendukung upaya penegakan hukum yang adil. Hanya dengan begitu, kebebasan pers di Indonesia dapat dijamin dan dilindungi.

Dengan perlindungan yang kuat terhadap jurnalis, diharapkan informasi yang akurat dan berimbang dapat terus disampaikan kepada publik, yang pada akhirnya akan memperkuat demokrasi dan mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.